Jumat, 17 Februari 2012

Ice Cream 2

Huaaaaaaahh, aku menguap untuk kesekian kalinya. Dosen tertua di fakultasku sedang asyik berceramah tentang sejarah arsitektur didepan kelas, sedangkan mahasiswanya sibuk dengan urusannya masing-masing. Dosen yang biasa dipanggil Pak Ahmad ini mengajari 128 mahasiswa sekaligus saat ini, menurutku sistem seperti ini sangat tidak efektif. Pelajaran yang hanya  berlangsung dua jam ini tidak dapat diserap oleh otak secara keseluruhan. “Kalau aku menjadi menteri pendidikan, sistem seperti ini akan kuhapuskan”. Dila menyikut lenganku, hayalanku menjadi menteri pun buyar.
“Kenapa ?” tanyaku dengan suara berbisik
“Kemarin, aku duduk di sebelah cowok cakep lho ! ” jawabnya sambil cengengesan
“Terus ?” raut mukaku datar, tanpa ekspresi. Belum sempat Dila melanjutkan ceritanya, Pak Ahmad sudah menutup pertemuan kali ini. Ruangan menjadi sangat ricuh, sehingga teman baikku ini kesulitan untuk menyampaikan curahan hatinya. Kami pun sepakat untuk melanjutkannya dikantin sambil menunggu mata kuliah selanjutnya.
Saat Dila sedang membenahi bukunya, dari kejauhan aku menangkap sosok itu. Mengecilkan pupil mataku untuk memastikan bahwa penglihatanku tidak salah. Pria itu, dia sekelas denganku. Kurasa hari ini dunia sedang berpihak padaku. Ia yang duduk dibarisan paling belakang bergegas untuk keluar ruangan, aku tak ingin melewatkan kesempatan emas ini. Kesempatan untuk sekedar memperhatikan gerak-geriknya dari kejauhan.
“Dila, aku ada urusan sebentar, nanti aku akan menyusul kamu ke kantin” tanpa menunggu jawaban darinya, aku langsung berjalan keluar kelas. Kepalaku bergerak kekanan kekiri untuk mencari jejak seseorang. Aku menemukannya, ia sedang mengantri di depan tempat fotocopi sambil memegang beberapa kertas. Dengan sigap aku mengambil ancang-ancang untuk berdiri tidak jauh darinya. Kuperhatikan kertas-kertas yang ia bawa, sepertinya itu berkas beasiswa. Kulihat dari gaya berpakaiannya, sepertinya ia tidak membutuhkan bantuan belajar. “Ah, itu bukan urusanku” pikirku. Kembali kufokuskan diriku untuk memperhatikannya. Ia menjauh dari antrian itu, sepertinya ia sedang menjawab panggilan masuk di ponselnya.
“Dasar maniak” ucap Sandy yang tiba-tiba muncul di hadapanku. Menghalangi pandanganku ke arah Alfin.
“Apa ?” aku memastikan pendengaranku.
“M-A-N-I-A-K” ia mengeja kata-kata itu.
Aku menghela napas lalu bertanya dengan penuh kesabaran “Apa maksud kamu?”
“Cewek yang suka memperhatikan cowok secara diam-diam, bukankah itu disebut maniak ?” jawabnya santai. Ia menunjukkan raut muka yang sangat menjengkelkan. Aku menghela napas lagi, berusaha sekuat tenaga untuk mengontrol emosi.
“Kamu, jangan pernah muncul di hadapanku lagi !” aku meninggalkannya yang sedang tersenyum puas. Ia selalu tertawa diatas penderitaanku. Aku merenung sejenak, memikirkan perkataan Sandy terhadapku. Aku pernah mengucapkan perkataan itu walaupun hanya di dalam hati. Ya, aku pernah melontarkan hinaan itu kepada seorang pegawai dan saat ini hinaan itu ditujukan padaku. Rasanya seperti menelan ludah sendiri.
“Anaaaaaaa” Gadis keturunan Tionghoa-melayu itu melambaikan tangan ke arahku. Aku langsung menghampirinya yang duduk di sudut kantin. Kukira ia duduk sendirian, tapi ternyata ia bersama dua orang teman baru. Dila memang anak yang suka bergaul dan ramah kepada siapa saja, sehingga ia tidak pernah kesulitan dalam mencari teman. Hal itu sedikit berbeda dengan kepribadianku yang kurang ramah dan sedikit sombong. Aku sangat mengakui sikap jelekku ini, namun aku tidak punya alasan untuk merubahnya. Sikap seperti ini terasa nyaman bagiku.
“Kamu” aku menunjuk kearah wanita yang duduk tepat di depan Dila. Hal ini sungguh mengagetkanku. Wanita itu, beberapa saat yang lalu muncul dibenakku. Pegawai mall itu tersenyum kepadaku sambil mengulurkan tangan.
“Ama” ia menyebutkan namanya yang hanya beda satu huruf dengan namaku. Aku membalas uluran tangannya.
“Ana” ucapku seraya menatap matanya yang lebar.
“Kalian pernah bertemu sebelumnya ?” Secara bergantian Dila melirik ke arahku lalu ke arah Ama.
“Sudah, kami bertemu di mall kemarin. Saat itu aku sedang part time di bagian perlengkapan bayi dan Ana bersama pacarnya adalah pelangganku ” Ama menjelaskan dengan  ringkas sejarah pertemuan kami.
“Pacar ?” Tanya Dila sedikit berteriak, ia merasa kehilangan satu informasi dariku.
“Sandy” aku menjelaskan kepada Dila “Dan dia bukan pacarku” aku mengklarifikasi pernyataan Ama.
“Oooh Sandy” Dila menganggukkan kepalanya.
“Sandy itu siapa ? teman sejurusan kita juga ?” gadis berkerudung yang duduk di sebelah Ama bertanya kepada Dila. Sedangkan Ama sedang memperhatikan setiap gerakanku. Sepertinya ada yang ingin diketahuinya dariku.
“ Bukan, dia jurusan manajemen. Dia itu tinggal serumah dengan Ana sej. . .”
“Tidak perlu di bahas, tidak akan keluar di ujian semester” aku memotong penjelasan Dila, hal yang menurutku sangat membuang-buang energi adalah membahas hubunganku dengan Sandy.
Well some may say I need to be afraid
Of losing everything, because of where I
Had my start and where I made my name
Well everything’s the same in the La La Land
Lirik lagu Demi Lovato yang berjudul La La Land itu mengalun dari ponsel gadis berkerudung yang hingga kini aku tidak mengetahui namanya. Ia menjawab panggilan itu. “Assalamualaikum, iya benar ini Ayu, ini siapa ? oh, ada apa Fin ?. Oh, terima kasih atas info nya. Wassalamualaikum” ia menutup telepon genggamnya.
“Kenapa Yu ?” Ama bertanya kepada gadis yang memiliki nama Ayu itu. Mereka terlihat begitu akrab, seperti aku dan Dila.
“Kata temanku mata kuliah selanjutnya tidak ada, dosennya sedang ada urusan di luar kota” ia menjelaskan dengan suaranya yang begitu lembut. Gadis ini sepertinya memiliki jiwa ke-ibu-an yang sudah mendarah daging di dalam dirinya.
Dila berpamitan pulang terlebih dahulu kepada kami bertiga. Ayu juga bergegas pulang dengan alasan tidak ada yang menjaga adik kecilnya di rumah. Kini aku hanya tinggal berdua dengan Ama. Sepertinya aku juga ingin pulang, karena dari awal aku memang merasa kurang nyaman dengannya, bahkan sejak pertama kali kami bertemu di mall. Saat aku ingin meninggalkannya, ia menahanku.
“Tunggu, ada yang ingin kubicarakan denganmu”
Aku kembali duduk di tempat dudukku semula, “Ada apa?” tanyaku
            “Aku mengetahui sesuatu tentangmu dan Sandy” 
            “Kalau kamu ingin membahas tentang aku dan Sandy, aku sama sekali tidak tertarik” ucapku ketus seraya berdiri dari tempat dudukku.
            “Kenapa kamu bersikap seperti ini setiap membicarakan Sandy ?. Apa karena cintamu pernah ditolak mentah-mentah olehnya ?” Langkahku terhenti mendengar ucapannya. Pernyataan itu begitu mengagetkanku sampai lutut ini terasa lemas.
            “Bukan Urusanmu” Aku menepis pernyataan itu, kemudian berjalan meninggalkannya. Kejadian itu, kejadian lima tahun lalu saat aku masih duduk di kelas dua sekolah menengah pertama.  Aku sudah menghapusnya dari memori otakku, berusaha untuk tidak meninggalkan bekas sedikit pun. Tapi kenapa gadis itu dengan santainya membuka pintu yang bahkan telah tiada. Darimana ia mengetahui hal ini ?.
            “Aku pulang” ucapku saat memasuki rumah. Ayah, ibu, dan adik perempuanku sedang menonton televisi di ruang keluarga, peristiwa ini adalah rutinitas keluarga kami. Kebersamaan adalah ciri khas keluargaku. Aku langsung duduk di sebelah ibuku, ikut menyaksikan serial lawak favorit ayah dan Pina. Ibu mengusap rambutku yang sedikit lepek. Padahal hari ini cuaca tidak begitu panas, kurasa ini akibat dari hatiku yang mulai terbakar emosi.
            “Ibu,” ucapku sedikit berbisik, berharap ayah dan adikku yang masih duduk di kelas empat sekolah dasar itu tidak mendengarnya. Ibu menatap wajahku yang terlihat sangat letih.
            “Bisakah Sandy tidak tinggal dirumah kita ?”
            “Kenapa ? terjadi masalah di antara kalian?” Ibu mencari-cari jawaban dari kedua bola mataku. Aku menggeleng, aku tahu cara ini tidak mungkin berhasil. Keluargaku sangat menyayangi Sandy, bahkan ibuku sudah menganggapnya seperti anak sendiri. Sandy adalah anak dari teman dekat ibu saat ia masih kuliah di salah satu universitas negeri di Yogyakarta. Saat aku memasuki sekolah menegah pertama, keluarga Sandy menjadi tetangga kami. Ketika itu ibuku dan ibunya berjanji untuk menyekolahkan kami di tempat yang sama, agar kami saling menjaga dan menjadi teman baik.
            “Aku pulang” ucap Sandy saat memasuki rumah, aku langsung beranjak dari sisi ibu menuju kamarku. Kubaringkan tubuhku di kasur, memejamkan mataku sesaat. Aku membuka kedua mataku bersamaan dengan suara pintu kamarku yang terbuka. Sandy telah berdiri di ambang pintu, aku berdiri menghampirinya.
            “Walaupun kita tinggal di satu atap, bisakah kamu berhenti mengusik hidupku  ?”. Ia terkejut mendengar ucapanku itu. Aku menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diriku. “Kamu tahu, aku selalu berharap kamu menghilang dari pandanganku”. Aku menutup pintu kamar, meninggalkan Sandy yang berdiri terpaku di depan kamarku. Air mata jatuh ke pipiku, mungkin hanya dua atau tiga tetes, tapi ini adalah air mata pertamaku untuk Sandy. Aku adalah tipe orang yang sangat sulit untuk terharu, apalagi sampai meneteskan air mata. Kali ini aku sungguh merasa bersalah, walaupun aku selalu berkata ketus, tapi baru kali ini kulontarkan ucapan sekejam itu.
            “KAKAK” Pina berteriak dari lantai dasar “Ada telepon dari mbak Dila”. Aku menuruni anak tangga dengan malas, kemudian mengambil gagang telepon dari tangan Pina. Ia memperhatikan wajahku yang terlihat sembab, namun ia tidak bertanya tentang hal itu. Ia hanya diam dan meninggalkanku sendiri di ruang tamu. Kurasa adik kecilku itu sangat memahami sifatku.Kulirik nomor yang tertera di telopon, itu bukan nomor telepon rumah Dila.
“Ada apa Dila ?”
“Anaaaaa,, “ suara Dila terdengar serak, kemudian ia menangis
“Dila kamu kenapa ?” Aku mulai panik
“Ana, rumahku, rumahku . . .” ia kembali menangis
“Rumah kamu kenapa ?” aku semakin khawatir. Gagang telepon terjatuh dari tanganku saat Dila melanjutkan perkataannya.  Lututku gemetaran sehingga aku hampir terjatuh, untung saja seseorang menahan tubuhku. Setelah seluruh tenagaku pulih, aku langsung berdiri. Melihat seorang lelaki yang menolongku tadi, aku mengabaikannya. Aku langsung berjalan menuju garasi, menyalakan mobil kesayangan ibu, kemudian melesat menuju ke kediam Dila.
Rumah yang berbentuk RUKO (rumah toko) itu kini sudah habis tebakar api, yang tersisa hanya tembok yang sudah berwarna hitam. Aku kesulitan menemukan sahabatku ataupun keluarganya karena disini masih dipenuhi banyak orang. Aku melihat Dila yang masih mengenakan pakaian tidur duduk di depan rumah tetangganya, wajahnya kelihatan ketakutan. Aku berlari ke arahnya.
“Dila,,” sepertinya ia belum menyadari keberadaanku di dekatnya. Begitu melihatku, ia langsung berdiri dan memelukku.
“Dila” aku hanya menyebut namanya, aku tidak sanggup menenangkannya. Kejadian seperti ini begitu mendadak, otakku tidak mampu mencerna dengan cepat.
“Aku sangat takut Na. . .” Ia menangis di pelukanku. Aku tahu rumah ini adalah satu-satunya rumah Dila dan rumah ini juga sumber penghasilan orangtuanya. Dila dan keluarganya hanya tinggal dilantai tiga, sedangkan lantai satu dan dua digunakan sebagai toko pakaian. Daerah ini memang sangat strategis untuk dijadikan pusat pertokoan, selain letaknya dipinggir jalan, juga ini merupakan jalan lintas.
Aku tiba dirumah sekitar pukul tiga dini hari, Dila sudah merasa sedikit tenang saat kutinggalkan. Ia dan keluarganya menginap di kediaman salah satu tetangganya yang rumahnya tidak terlahap si jago merah. Untunglah pagi ini aku tidak terlambat masuk kuliah. Aku duduk dipojok kanan ruangan kelas, meletakkan tasku dibangku sebelahku untuk tempat duduk Dila nanti. Ia sudah memberitahuku kalau ia masuk kuliah hari ini.
“Pagi” seseorang menyapaku sambil menyunggingkan senyuman diwajahnya. Aku melirik ke arahnya, sama sekali tidak berniat membalas sapaan itu. Ia tersenyum lagi, tapi kali ini senyumannya seperti merendahkanku, mungkin ini senyuman terlicik yang pernah kulihat.
“Tatapanmu seperti ingin menerkamku saja” ujarnya sambil tertawa. Aku tersenyum, juga merendahkannya, hanya saja senyumannya lebih menakutkan daripada milikku.
“Kamu” aku tersenyum seperti meledeknya “Siapa kamu sebenarnya ? Mata-mata dari MBA ? atau saudara seperguruan dengan detektif conan ?” aku tertawa kecil, kemudian menyambung ledekanku “sepertinya kamu selalu mengamati gerak-gerik orang lain”.
“Aku?” ia menyondongkan tubuhnya ke arahku “Aku hanya gadis biasa yang suka menikmati semangkuk ice cream bersamamu”. Ucapannya seakan membuat jantungku berhenti berdetak, aku menarik napas panjang dan merasa kesulitan untuk mengeluarkannya. Mataku menatapnya tanpa berkedip sedikitpun. Ia berlalu meninggalkanku yang sedang syok. Lalu seseorang duduk disampingku, mengamatiku yang masih dalam keadaan terkejut.
“Sepertinya kamu sedang bicara serius dengan Ama, apa yang kalian bicarakan ?”. Aku berusaha menangkan diriku, kemudian tersenyum padanya. “Tidak ada, hanya obrolan kecil di pagi hari”.
Aku mengikuti perkuliahan dengan perasaan gusar. Memutar otakku untuk mengingat kejadian yang sudah lalu. Mencari-cari sosok Ama dalam ingatanku, mungkinkah aku pernah bertemu dengannya sebelumnya ?, atau mungkin kami pernah duduk di kelas yang sama ?. Aku terus bertanya-tanya dalam hati, tapi sepertinya tidak ada ingatan tentang dirinya, sama sekali tidak ada. Lalu siapa dia sebenarnya ?.
Tanpa terasa perkuliahan telah selesai, aku merapika buku-bukuku dan bersiap untuk pulang. Namun Dila masih saja duduk seperti bermalas-malasan keluar dari kelas. Ia membaca kembali catatannya, membuka modul kuliah dan mencatat sesuatu. Aku kembali duduk dan memutuskan untuk duduk diam disampingnya. Sepertinya kelas sudah hampir kosong, kami sudah terlalu lama disini, aku mulai bosan.
“Dila, kamu ingin dikelas lebih lama ?” aku bertanya kepadanya yang masih sibuk menggoreskan tinta di atas kertas.
“Aku sudah hampir selesai” ujarnya “Ana” ia terdiam sesaat, terlihat ragu kemudian melanjutkan kalimatnya “Kamu melupakan sesuatu ?”
“Sesuatu ?” aku memutar bola mataku, berfikir “Menurutmu aku sedang meluapakan hal penting ?” tanyaku penasaran
“Tidak, tidak ada” ujarnya lagi.
Telepon genggamku bergetar, ada pesan singkat dari Dino, temanku disekolah menengah atas. “Ana, apakah kalian sudah berangkat ke acara reuni ? Aku bermaksud untuk pergi bersama. Aku telah menghubungi Dila, tapi dia tidak menjawab teleponku”.
Aku menepuk jidatku. “Dila, mari kita pergi” aku menarik lengan Dila, namun ia menahanku. “Kita harus ke acara reuni sekolah, kamu lupa?” aku menarik tangannya keluar kelas. Kami tiba di kafe dengan menggunakan jasa taksi, aku paling tidak suka menumpang mobil orang lain, maka dari itu aku tidak membalas pesan Dino. Aku tahu ia mengajakku karena Dila pasti sedang bersamaku, pria yang melanjutkan studinya di salah satu universitas negeri di Jakarta itu telah menyukai Dila sejak masa orientasi sekolah. Sayangnya cintanya bertepuk sebelah tangan.
Dila berhenti didepan pintu kafe. “Ada apa ?” tanyaku.
“Aku ingin ke toilet, kamu duluan saja” ucapnya. Ia berjalan menuju toilet yang berada di sebelah kanan dari pintu utama kafe. Ia bertingkah sedikit aneh hari ini, kuamati Dila yang sedang berjalan membelakangiku. Ia mengikat rambut ikalnya, mengenakan kemeja berwarna hijau yang sepertinya terlalu besar untuk ukuran tubuhnya, rok hitam yang menggantung selutut, dan sepatu pansus berwarna hijau tua yang menurutku hampir ketinggalan zaman. Aku menepuk jidatku,“Kebakaran itu” desisku menyesali ingatanku yang cukup buruk.
Aku memasuki kafe yang merupakan tempat tongkrongan anak-anak di sekolahku terdahulu. Terlihat sekitar belasan muda-mudi sedang duduk di sudut kiri ruangan. Aku menghampiri kerumunan itu, menyapa mereka, lalu menarik kursi tepat didepan Dino. Beberapa saat setelah aku duduk, Sandy muncul lalu duduk di sisi kanan Dino.
“Kalian pergi bersama ?” seorang gadis berkulit putih bersih yang duduk  tepat di sisi kiri Dino melirik ke arahku lalu Sandy secara bergantian.
“Tidak, hanya kebetulan tiba disini bersamaan” aku menyanggah pertanyaan dari gadis yang biasa dipanggil Tifani itu.
“Aku dengar kalian tinggal bersama sejak masuk pergurun tinggi” ucap Amel yang duduk disisi paling ujung “Kalian berencana menikah ?” ia tertawa mengejekku.
“Apa ?” Tifani sedikit berteriak lalu tertawa bersamaan dengan Amel. Bisa dibilang bahwa mereka berdua dan aku tidak pernah akur selama tiga tahun kami bersekolah. Dan menurutku, wajar kalau mereka mengolokku disaat acara reunin. Mungkin untuk mengenang masa sekolah yang indah.
“Aku tidak percaya, kapan kalian mulai pacaran ?” seseorang bertanya, aku tidak tahu dia siapa karena aku hanya menundukkan kepalaku. “Sepertinya aku akan diserang oleh semua anak yang hadir saat ini” pikirku.
“ Mungkinkah kalian sudah berpacaran sejak SMA?”
“Atau sejak SMP ?”
“Sepertinya kalian dijodohkan”
“Aku rasa hari ini kalian harus mentraktir kami”
“Iya benar, untuk merayakan hubungan kalian”
            Setiap anak mengutarakan apapun yang ingin mereka sampaikan, suasana menjadi sangat ricuh, dan ini cukup membuat telingaku panas. Aku melihat ekspresi Sandy yang terlihat ‘biasa-biasa saja”, seakan-akan ia bukanlah objek ledekan teman-teman saat ini. Pembicaraan mengenai aku dan Sandy kini makin heboh, ada berkata bahwa kami mungkin sudah menikah diam-diam di luar negeri, kami tinggal hanya berdua dirumah, dan bahkan ada yang bertanya apakah kami telah berciuman. Aku tidak tahan lagi, situasi ini membuatku muak. Tidak ada bala bantuan yang akan menolongku, Dila mungkin masih di toilet untuk memikirkan antara hadir ke acara ini atau pulang saja.
            “Kami memang tinggal bersama” akhirnya aku mengucapkan perkataan itu, semuanya terdiam, lalu melihat ke arahku “Tapi ini tidak seperti apa yang kalian bayangkan, kami tidak memiliki hubungan apapun, Sandy tinggal bersamaku dan keluargaku karena keluarganya telah kembali ke Belanda.” Aku menuntaskan kalimatku. Perkataanku ini tidak akan menghapus semua pandangan mereka tentang kami, tapi setidaknya suasana kembali normal. Walaupun Amel dan beberapa anak lain masih berbisik-bisik. Tanpa kusadari kini Dila telah berdiri disampingku, mengatakan “Hai” kepada teman-teman yang lain, lalu duduk tepat disebelahku.
            “Dila ? kenapa dandanan kamu . . .” Tifani yang kurasa memiliki hobby mengkritik orang lain menatap Dila seakan tidak percaya, lalu ia melanjutkan kalimatnya “. .terlihat sedikit kucel”.        “Sepertinya selera kamu sudah berubah” seseorang menambahkan
“Kamu seperti bukan Dila yang dulu”. Dila hanya tersenyum menanggapi ledekan-ledekan itu, tapi aku dapat melihat ada segurat kesedihan di wajahnya. Mungkin situasi ini akan sulit baginya, mengingat ia yang dulunya selalu me-nomor-satu-kan penampilan.
            “Bukankah tampil sederhana itu bagus” Ema terlihat seperti malaikat pembela kebenaran “,lebih alami dan lebih terlihat manis”. Gadis itu memang selalu netral dalam mengahadapi situasi seperti ini, bahkan disaat perdebatan mengenai aku dan Sandy berlangsung ia hanya menggeleng-gelengkan kepala dan berkata “Mereka yang tinggal serumah, kenapa kalian yang repot ?”
            “Aku setuju” Dino mengacungkan jempol kearah Dila “kamu terlihat semakin cantik”
            “Terima kasih” Senyuman Dila melebar, sepertinya guratan kesedihan semakin menghilang dari wajahnya. 
“Dan aku berdoa agar semua kesedihannmu lenyap, yang tersisa hanyalah senyuman manis yang akan menghiasi hari-harimu” bisikku ditelinganya .

Semangkuk Ice Cream

Ketika aku besar nanti,
Aku ingin menjadi seperti ibuku
Menjadi seorang arsitek yang hebat
Kemudian  akan kubangunkan rumah yang bagus untukmu Ana.
“Anaaaaaaaa, bangun sayang” teriak seorang wanita separuh baya dari ruang favoritnya yang terletak di lantai dasar. Aku sudah terbangun dari tidur singkatku, bahkan sebelum ibuku memanggilku. Hanya saja aku enggan menjawab teriakkannya. “Aku bukan anak kecil lagi bu, umurku sudah hampir delapan belas tahun” ingin sekali kulontarkan perkataan yang ada dibenakku saat ini, tapi lidah ini begitu kelu untuk meluapkannya. Karena ibuku adalah satu-satunya manusia yang tak ingin  kusakiti hatinya, enggan menggores luka dibenakknya , bahkan sampai matipun tak akan merobek perasaanya. Sungguh, aku mencintainya disetiap hembusan napasku.
“Sayaaaaaang, hari ini hari pertama kamu kuliah, jangan sampai terlambat” teriaknya lagi. “iya bu” sahutku singkat sambil berjalan menuruni anak tangga. Aku masih terlalu lelah, terlihat dari mataku yang sayu, hanya saja aku tak ingin melewatkan hari ini. Sebenarnya, aku baru tiba di bandara Soetta semalam,sekitar pukul 11.40,dan sampai di kediamanku mungkin pukul 01.00 dini hari. Kalau dipikir-pikir, saat ini emang terlalu melelahkan untuk menjadi mahasiswa baru. Namun, hari ini tak boleh terlewatkan. “Tidak boleh” gumamku.
Kulangkahkan kakiku menuju ruang makan, disana terdapat sebuah meja makan berbentuk persegi panjang. Ayahku sedang membaca surat kabar sambil menikmati kopi jahenya. Ibuku menyuapi adik perempuanku yang duduk disebelahnya. Kutarik kursi yang berhadapan dengan gadis kecil yang kerap disapa Pina. Ayahku menoleh kearahku.
“Bagaimana liburanmu dirumah eyang ?” .
“Begitulah” sahutku sambil meneguk susu coklat buatan ibuku.
“Kabar eyang gimana ? sehat ?” suara besar ayah tergantikan oleh lembutnya pertanyaan ibu. Aku suka mendengar suara ibu, terasa begitu hangat ditelingaku.
“Eyang sehat bu, beliau titip salam buat ayah dan ibu”
“Aku ?” Adikku yang masih duduk di bangku sekolah dasar menatap kearahku.
“Kurasa ia melupakanmu” jawabku singkat, kemudian melahap nasi goreng yang terhidang dimeja makan, ini adalah menu favorit keluarga. Nasi goreng sea food ala ibu.
“KAKAK” teriak Pina kesal padaku. Aku tak menghiraukannya, hanya menikmati sarapan pagiku. Beginilah aku dan adikku setiap paginya, gaduhan di ruang makan menambah kelezatan masakan ibu.
“Pagi semua” suara itu diiringi dengan deritan kursi makan disebelahku. Ayah, Ibu beserta Pina membalas sapaan lelaki yang kini duduk tepat disampingku. Ia melirik kearahku, dan aku sama sekali tak menghiraukan keberadaannya. Ia menyantap makanan yang sama dengan kami, meneguk susu coklat buatan ibuku, bahkan memanggil ibuku dengan sebutan yang seharusnya hanya aku dan Pina yang memanggilnya. Dan perlu diketahui, lelaki yang memiliki usia yang sama denganku ini bukan abangku, bukan juga sepupuku, bahkan tidak memiliki hubungan darah denganku. Kami hanya tinggal disatu atap, itu saja, tidak lebih dan tidak kurang.
Setelah menghabiskan tegukan terakhir dari susu coklat kesukaanku, kusalim tangan ayah, ibu, kemudian mengacak rambut pendek adikku. Ia terlihat kesal dengan tindakanku itu. “Aku pergi” ucapku pada semua yang berada di ruangan favorit ibuku itu. Wanita kelahiran 1965 itu begitu menyukai ruang makan, karena ditempat inilah keluarga kecil kami selalu berkumpul. Jawaban yang singkat, namun memiliki makna yang begitu dalam.
“Na, kenapa tidak pergi bersama Sandy ?” Tanya ibuku. Aku hanya melambaikan tangan, kemudian membuka pintu rumah kami. Kutarik napasku perlahan untuk menghirup udara pagi yang sebenarnya tidak terlalu segar. Memasang ancang-ancang untuk berlari kekampus. Aku berlari bukan karena aku hampir terlambat, karena saat ini waktu masih menunjukkan pukul 07.00 pagi, sementara perkuliahan dimulai pukul 08.00. Bukan juga karena jarak antara rumahku dan kampus yang terlampau jauh, karena bila di tempuh dengan berjalan kaki hanya menghabiskan waktu sekitar sepuluh menit.  Lalu kenapa ?. aku hanya tersenyum memikirkan alasan yang ada dibenakku ini.
Kuperlambat langkah kakiku, kini aku telah berdiri didepan salah satu universitas swasta ternama yang berada di Kota Depok. Dengan membaca basmalah kulangkahkan kaki kanan menuju area kampus. Sebuah papan penunjuk jalan bertuliskan “Teknik Arsitektur” digantungkan dilangit-langit asbes. Menurut petunjuk tersebut seharusnya aku berjalan lurus menuju kelasku. Namun, saat ini tujuanku bukan ketempat tersebut. Aku berbelok kearah kiri, berjalan sekitar sepuluh langkah dari papan petunjuk arah tadi. Senyuman kecil tersungging dari bibirku yang berwarna merah muda. Majalah dinding (MADING) kampus, tempat inilah yang membuatku mengerahkan tenaga untuk berlari. Disitu tertera sekitar dua ribuan nama mahasiswa baru dari setiap jurusan. Jari telunjukku mengarah dari nomor pertama hingga nomor 48 di kertas pertama, “Namanya tidak ada” ucapku seperti hembusan napas. Kemudian kulanjutkan pencarianku kelembar dua, tiga, hingga kini jari telunjukku mengarah ke nomor 2853, nomor terakhir dari lembar teakhir. Kakiku gemetaran, aku berpegangan pada tembok agar tidak terjatuh. “Tidak mungkin, seharusnya namanya tertera disini” gumamku seraya menggeleng-gelengkan kepalaku.
“Anaaaaaaaaaaaaaa” gadis berambut ikal dengan penampilan menarik berteriak kearahku. Ia berlari kecil untuk menghampiriku. Aku bahkan belum mengumpulkan seluruh nyawaku saat wanita yang biasa dipanggil Dila itu menyentuh lenganku. Melihat kondisiku yang terlihat buruk, perempuan bermata sipit ini menyentuh keningku. Aku tersenyum kearahnya, sebisa mungkin terlihat ‘baik-baik saja’. Aku berdiri tegak “ayo kekelas” ajakku masih dengan suara rendah. Ia mengangguk dan menggandengku berjalan menuju kelas. Ruangan yang terlihat seperti panggung bioskop ini sudah penuh sesak dengan makhluk hidup. Aku dan Dila mengambil posisi duduk di pojok kanan paling belakang. Bukan karena kami menginginkan duduk di tempat seperti ini, hanya saja ini lah satu-satunya tempat yang tersisa untuk kuota dua orang.
“Kamu curang” ucapnya kesal, aku menoleh kearahnya “Kenapa kamu pergi ke Jogja seminggu sebelum kita kuliah ? Kan seharusnya kamu bisa pergi dihari-hari sebelumnya” kemudian nada suaranya menurun “itu membuatku tidak punya teman sewaktu OSPEK” pipi cuby nya terlihat cemberut.
“Aku punya janji dengan seorang teman lama” aku berusaha mengumpulkan sisa-sisa suaraku yang mungkin akan terdengar parau. “Tepatnya kemarin, seharusnya kami bertemu di tempat itu, tapi dia tidak datang”
Dila mengelus-elus pundakku, memberikan suguhan semangat untuk sahabat yang telah dikenalnya sejak mengenyam bangku sekolah menengah atas.
“Tapi aku yakin kami akan bertemu” ucapku meninggikan suaraku hingga beberapa dari mahasiswa yang ada disekitar menoleh ke arah kami.
“Dimana ?” Tanya gadis bertubuh semampai itu penasaran.
“Disini, di kampus ini, mungkin saat ini ia berada disekitar kita” jawabku, tingkat kepercayaan diriku semakin meningkat. Seakan apa yang terlontar dari mulut mungilku tadi adalah kenyataan.
“Kamu yakin ? kamu tau dari mana ?” Dila semakin penasaran
Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, seorang dosen yang kira-kira berusia enam puluh tahun memasuki kelas. Ubannya sudah merajalela disetiap helai rambutnya. “Kok ada sih dosen setua itu” salah seorang mahasiswi didepanku berkomentar. Tak ada yang menanggapinya dan aku pun enggan ambil pusing untuk memikirkan dosen tersebut. Ingatanku kembali kemasa silam, tepatnya dua belas tahun yang lalu.
Jogja, 12 Juli 2000
            Udara segar menggelitik sekujur tubuhnya dipagi yang cerah ini. Gadis kecil yang tepat berusia lima tahun sebelas bulan itu sedang duduk dipekarangan rumah eyangnya. Sepertinya sedang menunggu seorang teman. Ditangannya ada sebuah botol kosong, pena, dan dua lembar kertas. Kemarin ia menerima pelajaran dari guru sekolah dasarnya untuk menuliskan cita-citanya diselembar kertas. Saat ini mungkin hanya cita-cita seorang gadis kecil, namun suatu saat nanti akan menjadi kenyataan yang luar biasa.
            Seorang anak lelaki yang memiliki belahan didagunya berlari kearah gadis itu. “Anaaaa” teriaknya seraya melambaikan tangan. Gadis bernama Ana itu pun berdiri dengan tas Tazmania yang menggantung di punggungnya, juga melambaikan tangan pada sahabat kecilnya.
            “Kamu mau kemana ? kenapa bawa tas ?” Tanya lelaki yang lebih tua setahun dari gadis berlesung pipi, namun mereka masuk sekolah ditahun yang sama.
            “Kata ibu hari ini kami mau pindah”
            “Kemana ?” lelaki kecil itu mengerutkan dahinya. Ana menggelengkan kepala, pertanda bahwa ia sama sekali tidak tau. Mereka terdiam sesaat, kemudian mereka saling berbagi kertas dan pena. Itu lah tujuan mereka bertemu hari ini, untuk membubuhi kertas putih dengan harapan mereka. Mereka menuliskan cita-cita manis dikertas masing-masing. Tanpa suara, dan berpikir keras untuk mengetahui apa yang sebenarnya mereka inginkan.
            “Apa yang kamu tulis ?” Tanya Ana penasaran
            “Nanti baru aku kasih tau” jawabnya sambil memasukkan dua lembar kertas itu kebotol, kemudian menutupnya dengan sehelai sapu tangan.
            “Kapan ?” Gadis berambut sebahu itu penasaran.
            “Dua belas tahun lagi”
            “Kenapa harus dua belas tahun lagi ?itu terlalu lama”
            “Karena hari ini tanggal dua belas, dan ini ulang tahunku ” jawabnya dengan senyuman lebar, memamerkan sederetan giginya yang putih. Kemudian mereka mengubur botol tersebut di bawah pohon mangga. Mereka tersenyum menunjukkan wajah polos yang belum tersentuh dosa sedikitpun.
            Hari sudah mulai siang, tibalah saatnya gadis yang memiliki sejuta harapan itu meninggalkan kampung kelahirannya. Bersama kedua orang yang paling dicintainya, ia menaiki mobil. Melihat kebelakang melalui jendela yang terbuka, melambaikan tangan pada teman kecilnya. Mereka berbagi senyuman, karena yakin suatu saat nanti akan dipertemukan kembali. “Jiner” gadis kecil itu menyebut nama sahabatnya dengan senyum ketulusan.
            Perkuliahan yang hanya berlangsung dua jam ini pun berakhir. Dan aku sama sekali tak mendengarkan pelajaran hari ini. “Hebat sekali Ana, hari pertama kuliah malah melamun” dumelku dalam hati. Aku beranjak dari tempat dudukku, kepalaku sedikit pusing, mungkin akibat darah rendah. Aku berjalan beriringan dengan Dila keluar dari ruangan. Mataku menangkap wajah sesosok pria yang sepertinya sangat akrab denganku. Aku membelalakkan mataku untuk memastikan, laki-laki bertubuh jangkung itu memiliki sedikit belahan di dagunya. Jantungku berdetak tidak karuan. Wajah itu, persis seperti apa yang ada dalam hayalanku.
“Jiner” gumamku dalam hati.
Kulangkahkan kakiku menuju kearahnya. Aku bersembunyi di balik sebuah pohon, pria itu hanya sekitar lima langkah dari tempatku berpijak. Kuamati dirinya yang sedang mengobrol dengan teman wanitanya. Mulai dari gaya rambutnya yang berjambul, alisnya yang tebal, bola matanya yang berwarna coklat, hidungnya yang mancung, sampai bibirnya yang kelihatan penuh. “Hanya belahan dagunya yang mirip” gumamku sedikit kecewa. Namun aku belum menyerah, “Mungkin saja wajahnya telah mengalami sedikit perubahan. Setahuku, banyak orang yang memiliki wajah yang berbeda dengan wajahnya sewaktu kecil”  kusemangati diriku sendiri. Kembali kuperhatikan si target sasaran, ia hanya berbicara seadanya, sepertinya perempuan yang ada dihadapannya lebih mendominasi percakapan. Aku tersenyum, tidak jelas apa penyebabnya. Mungkin karena pria itu mirip Jiner, atau karena gayanya yang terlihat cool. Entahlah, aku tidak mengerti.
“Alfin” terdengar teriakan seorang lelaki kearahku. Kutolehkan kepalaku kebelakang, lelaki yang berteriak tadi berdiri tidak jauh dari tempatku berpijak. “Tidak mungkin ia berteriak padaku, namaku bukan Alfin” pikirku singkat. Saat aku kembali mengarahkan pandanganku ke target sasaran, pria yang mirip teman kecilku itu berjalan kearahku, kemudian melewatiku, dan menghampiri lelaki yang berteriak tadi. Mereka berjalan beriringan meninggalkanku yang terpaku. Seketika itu juga tubuhku terasa lemas, “Bodoh” Aku menokok kepalaku sendiri, “Mungkin ada ribuan lelaki yang memiliki belahan didagunya, bagaimana mungkin aku berpikir kalau pria itu adalah Jiner” ucapku pada diriku sendiri. Lama aku berdiri terpaku di tempat ini, sedikit tertawa menyadari kebodohanku. Untunglah hanya aku dan pikiranku yang menyadari hal memalukan ini.
Bip bip. . . getaran itu berasal dari tas sandangku. Ku acak-acak isi tasku untuk menemukan sebuah ponsel. Ada pesan dari Dila. “Untuk apa Dila mengirimiku pesan?” tanyaku penasaran.
“Kamu dimana ?. Dosennya sudah masuk kelas.” kutepuk jidatku setelah membaca pesan tersebut. Melihat kesana kemari untuk memastikan arah. Aku bingung, aku sama sekali tidak tahu harus pergi ke arah mana. Kelasku berikutnya ada didekat auditorium, hanya itu yang ku ketahui. Yang jadi masalah adalah aku bahkan tidak tahu dimana letak auditorium itu. Aku menghela napas dan menenangkan diri. Ponselku kembali bergetar. Pesan dari Dila lagi. “Kamu dimana ?. Kamu sudah telat 15 menit, kalau kamu datang sekarang kamu akan di usir. Ana, daripada kamu dipermalukan, menurutku lebih baik kamu tidak masuk kelas.”
“Saran yang bagus dari seorang teman” kutarik sedikit senyuman diwajahku. Kulangkahkan kaki ini menuju deretan bangku di taman. Duduk seraya meregangkan otot otot yang kaku. Hari ini terlalu melelahkan, begitu banyak kejadian aneh. “Bisa-bisanya aku bolos kuliah hanya untuk memperhatikan gerak gerik seorang pria. Ah, cerita hari ini patut di jadikan sejarah” aku tertawa sangat pelan, memastikan tidak ada orang yang menganggapku gila karena tertawa sendirian.
“Kamu sedang apa disini ?” Suara yang sangat akrab ditelinga ini mengagetkanku. Kini ia sudah duduk disebelahku tanpa meminta izin. Begitulah yang ia lakukan setiap harinya. Bahkan mulutku hampir berbuih karena mengomelinya tentang hal ini.
“Kamu mengikutiku ?” aku menggeser posisi duduk beberapa jengkal darinya. Ia menggelengkan kepala, “Kamu bolos ya ?. setahuku kamu ada kuliah sampai sore ini.” tuduhannya membuatku sedikit terkejut. Namun, aku tak menghiraukan tuduhannya, hanya diam seperti apa yang biasa kulakukan terhadapnya.
 “Bagaimana kalau ibu mengetahuinya ?” nada suaranya meledekku,kemudian ia tertawa. Baginya mungkin hal ini adalah hal yang paling menarik dalam hidupnya. Membuatku marah adalah salah satu dari hobinya, itulah yang selalu ia katakan padaku. Mataku melirik kearahnya dengan tajam, kemudian aku berdiri meninggalkannya. Tanpa suara, begitulah aku menghadapi tingkah konyolnya setiap hari.
“Hei mau kemana ?. Anaaaaaa. . .” teriak lelaki yang biasa disapa Sandy itu. Aku hanya berjalan sejauh mungkin darinya. Sebenarnya aku tidak membencinya, hanya saja aku tidak suka kalau ia selalu berada disekitarku. Pria keturunan Belanda-Sunda itu sudah sekelas denganku sejak menginjak bangku sekolah menengah pertama, kami bahkan mengambil pelajaran tambahan di tempat yang sama. Aku tahu hal ini adalah unsur ketidaksengajaan, hanya saja terkadang ini kelihatan tidak logis. Hampir semua teman sekolahku mengira bahwa kebersamaan kami bukan sebuah kebetulan, melainkan hal yang sudah kami rencanakan. Ah, terlalu melelahkan bagiku untuk mengoreksi pendapat mereka, biarkan saja menglir seperti itu.
Kusandarkan tubuhku di salah satu kursi di perpustakaan, membolak-balik buku yang sama sekali tidak kumengerti. Mataku mulai redup, mengingat singkatnya tidurku tadi malam ditambah dinginnya ac di ruangan ini, mengantuk adalah hal yang wajar. Jam dinding menunjukkan pukul 12.00 siang, aku tidak bisa pulang sekarang karena perkuliahanku selesai sejam lagi. “Lebih baik tidur sebentar” pikirku sambil merebahkan kepalaku di meja.
Bip bip,, getaran itu mengusik tidurku, perlahan kubuka kedua mataku, berusaha mengangkat kepalaku yang terasa sangat berat, kemudian merapikan rambutku yang terurai sebahu. Ada pesan dari ibu, “Na, pulang kuliah tolong mampir ke mall, belikan baju bayi beserta sepatu dan sarung tangannya. Bayinya perempuan kira kira enam bulanan.  Ibu sudah menyuruh Sandy untuk menemanimu”.
“Sandy ? Aku bahkan tidak tahu dia ada dimana saat ini” ucapku kesal.
“Sepetinya kamu membutuhkan bantuanku” . kutolehkan kepalaku ke arah suara itu, Sandy sedang duduk manis kira-kira dua kursi disebelahku. Ia tersenyum melihat wajah bodohku. Bagaimana mungkin aku tidak menyadari keberadaannya disitu. Seharusnya aku tidak perlu ambil pusing untuk mencarinya, karena pria itu selalu ada dimana-mana.
“ Antarkan aku ke mall” ucapku datar sambil berjalan keluar dari ruangan yang dipenuhi pohon mati ini. Ya, bagiku perpustakaan adalah kumpulan dari pohon yang sudah mati. Aku dan Sandy masuk ke bagian perlengkapan bayi. Kami saling bertukar pandangan, tidak seorang pun diantara kami yang mengerti tentang hal ini. Pelanggan di tempat ini kebanyakan suami istri beserta bayi mereka, “benar-benar gambaran keluarga bahagia” pikirku. Seorang pegawai berseragam hitam putih menghampiri kami.
“Ada yang bisa saya bantu mbak ?” pegawai itu terlihat masih muda, mungkin usianya tidak jauh dariku.
“Saya ingin mencari pakaian bayi, kira-kira usianya enam bulan, dibagian mana saya bisa menemukannya ?”. Wanita berkulit hitam manis itu tidak menjawab pertanyaanku, sepertinya ia sedang mengamati wajah Sandy. Aku tersenyum merendahkan wanita itu, “Dasar maniak” pikirku sembarangan.
“Mbak” teguranku membuatnya tersentak, mukanya terlihat memerah.
“Mari mbak saya tunjukkan” kami mengikutinya dari belakang. Dengan penuh semangat ia menunjukkan berbagai jenis pakaian bayi, mulai dari yang berwarna cerah, gelap, bermotif bunga, bergambar boneka, hingga bergambar kucing. Kutunjukkan sebuah pakaian berwarna merah muda kepada Sandy mengacak-acak sepatu bayi.
“Bagaimana kalau yang ini?” tanyaku padanya. Ia mengangkat jempol tangannya pertanda menyetujui pilihanku. Sekilas kulihat wajah pegawai tadi, ia masih memperhatikan setiap garis diwajah Sandy. Sandy masih tidak menyadari tatapan gadis itu, dengan santai ia memilah-milih sepasang sepatu bayi. Ia menarik sepasang sepatu baldu berwarna merah muda dengan gambar boneka di ujungnya.
“Yang ini baguskan?” Sandy menunjukkan sepatu itu padaku
Aku mengangguk  “Yang ini gimana ?” aku menunjukkan sepasang sarung tangan berwarna putih susu.
“Apa itu ? sarung tinju ?” tanyanya dengan wajah polos. Aku menatap wajahnya seakan-akan ingin menerkamnya. Ia tertawa lepas, raut mukanya terlihat sangat bahagia. Aku berjalan menuju kasir dan Sandy mengikutiku seperti anak ayam.
“Sepertinya mereka pengantin baru” bisik salah satu pegawai yang berdiri tidak jauh dari tempat kami mengantri. Mungkin ia tidak menyadari bahwa telingaku dapat menangkap perkataan itu.
“Iya iya, kelihatannya masih muda ya” sambung salah satu pegawai yang berdiri didekatnya.
Aku melirik ke arah kedua pegawai itu, mereka langsung menghentikan pembicaraannya dan bubar teratur. Kata ibu mataku memang tajam, seperti tatapan elang. Bahkan ada yang mengatakan tatapanku seperti akan menerkam mangsa. Padahal dikeluargaku tidak ada yang memiliki mata sepertiku. Namun, ibu selalu meyakinkanku bahwa mataku sebenarnya mirip dengan mata ayah, hanya saja mataku sedikit lebih tajam.
            Setelah menyelesaikan urusan administrasi dengan kasir. Aku dan Sandy pulang kerumah. Kuserahkan semua belanjaanku kepada ibu, kemudian aku bergegas menuju kamarku. Kurebahkan tubuhku diatas kasur yang merupakan tempat favoritku.kutarik napasku dalam-dalam kemudian menghembuskannya melalui mulut. Semua kejadian hari ini menari-nari di kepalaku, begitu banyak kejadian sampai membuat kepalaku pusing. Tiba-tiba aku teringat pria itu, pria yang dipanggil dengan sebutan Alfin. Walaupun ini mustahil, aku berharap pria itu adalah teman kecilku. Kuambil sebuah bingkai foto di atas meja belajar, foto itu terlihat sudah usang. Aku masih ingat dengan jelas, gambar ini di ambil oleh ibuku saat aku dan jiner pertama kali menginjakkan kaki di bangku sekolah dasar. Ini adalah seragam sekolah pertama kami, aku bahkan masih menyimpan seragam itu di lemariku. Kenangan bersamanya terasa begitu manis, seperti sedang menikmati semangkuk ice cream.