Jumat, 17 Februari 2012

Ice Cream 2

Huaaaaaaahh, aku menguap untuk kesekian kalinya. Dosen tertua di fakultasku sedang asyik berceramah tentang sejarah arsitektur didepan kelas, sedangkan mahasiswanya sibuk dengan urusannya masing-masing. Dosen yang biasa dipanggil Pak Ahmad ini mengajari 128 mahasiswa sekaligus saat ini, menurutku sistem seperti ini sangat tidak efektif. Pelajaran yang hanya  berlangsung dua jam ini tidak dapat diserap oleh otak secara keseluruhan. “Kalau aku menjadi menteri pendidikan, sistem seperti ini akan kuhapuskan”. Dila menyikut lenganku, hayalanku menjadi menteri pun buyar.
“Kenapa ?” tanyaku dengan suara berbisik
“Kemarin, aku duduk di sebelah cowok cakep lho ! ” jawabnya sambil cengengesan
“Terus ?” raut mukaku datar, tanpa ekspresi. Belum sempat Dila melanjutkan ceritanya, Pak Ahmad sudah menutup pertemuan kali ini. Ruangan menjadi sangat ricuh, sehingga teman baikku ini kesulitan untuk menyampaikan curahan hatinya. Kami pun sepakat untuk melanjutkannya dikantin sambil menunggu mata kuliah selanjutnya.
Saat Dila sedang membenahi bukunya, dari kejauhan aku menangkap sosok itu. Mengecilkan pupil mataku untuk memastikan bahwa penglihatanku tidak salah. Pria itu, dia sekelas denganku. Kurasa hari ini dunia sedang berpihak padaku. Ia yang duduk dibarisan paling belakang bergegas untuk keluar ruangan, aku tak ingin melewatkan kesempatan emas ini. Kesempatan untuk sekedar memperhatikan gerak-geriknya dari kejauhan.
“Dila, aku ada urusan sebentar, nanti aku akan menyusul kamu ke kantin” tanpa menunggu jawaban darinya, aku langsung berjalan keluar kelas. Kepalaku bergerak kekanan kekiri untuk mencari jejak seseorang. Aku menemukannya, ia sedang mengantri di depan tempat fotocopi sambil memegang beberapa kertas. Dengan sigap aku mengambil ancang-ancang untuk berdiri tidak jauh darinya. Kuperhatikan kertas-kertas yang ia bawa, sepertinya itu berkas beasiswa. Kulihat dari gaya berpakaiannya, sepertinya ia tidak membutuhkan bantuan belajar. “Ah, itu bukan urusanku” pikirku. Kembali kufokuskan diriku untuk memperhatikannya. Ia menjauh dari antrian itu, sepertinya ia sedang menjawab panggilan masuk di ponselnya.
“Dasar maniak” ucap Sandy yang tiba-tiba muncul di hadapanku. Menghalangi pandanganku ke arah Alfin.
“Apa ?” aku memastikan pendengaranku.
“M-A-N-I-A-K” ia mengeja kata-kata itu.
Aku menghela napas lalu bertanya dengan penuh kesabaran “Apa maksud kamu?”
“Cewek yang suka memperhatikan cowok secara diam-diam, bukankah itu disebut maniak ?” jawabnya santai. Ia menunjukkan raut muka yang sangat menjengkelkan. Aku menghela napas lagi, berusaha sekuat tenaga untuk mengontrol emosi.
“Kamu, jangan pernah muncul di hadapanku lagi !” aku meninggalkannya yang sedang tersenyum puas. Ia selalu tertawa diatas penderitaanku. Aku merenung sejenak, memikirkan perkataan Sandy terhadapku. Aku pernah mengucapkan perkataan itu walaupun hanya di dalam hati. Ya, aku pernah melontarkan hinaan itu kepada seorang pegawai dan saat ini hinaan itu ditujukan padaku. Rasanya seperti menelan ludah sendiri.
“Anaaaaaaa” Gadis keturunan Tionghoa-melayu itu melambaikan tangan ke arahku. Aku langsung menghampirinya yang duduk di sudut kantin. Kukira ia duduk sendirian, tapi ternyata ia bersama dua orang teman baru. Dila memang anak yang suka bergaul dan ramah kepada siapa saja, sehingga ia tidak pernah kesulitan dalam mencari teman. Hal itu sedikit berbeda dengan kepribadianku yang kurang ramah dan sedikit sombong. Aku sangat mengakui sikap jelekku ini, namun aku tidak punya alasan untuk merubahnya. Sikap seperti ini terasa nyaman bagiku.
“Kamu” aku menunjuk kearah wanita yang duduk tepat di depan Dila. Hal ini sungguh mengagetkanku. Wanita itu, beberapa saat yang lalu muncul dibenakku. Pegawai mall itu tersenyum kepadaku sambil mengulurkan tangan.
“Ama” ia menyebutkan namanya yang hanya beda satu huruf dengan namaku. Aku membalas uluran tangannya.
“Ana” ucapku seraya menatap matanya yang lebar.
“Kalian pernah bertemu sebelumnya ?” Secara bergantian Dila melirik ke arahku lalu ke arah Ama.
“Sudah, kami bertemu di mall kemarin. Saat itu aku sedang part time di bagian perlengkapan bayi dan Ana bersama pacarnya adalah pelangganku ” Ama menjelaskan dengan  ringkas sejarah pertemuan kami.
“Pacar ?” Tanya Dila sedikit berteriak, ia merasa kehilangan satu informasi dariku.
“Sandy” aku menjelaskan kepada Dila “Dan dia bukan pacarku” aku mengklarifikasi pernyataan Ama.
“Oooh Sandy” Dila menganggukkan kepalanya.
“Sandy itu siapa ? teman sejurusan kita juga ?” gadis berkerudung yang duduk di sebelah Ama bertanya kepada Dila. Sedangkan Ama sedang memperhatikan setiap gerakanku. Sepertinya ada yang ingin diketahuinya dariku.
“ Bukan, dia jurusan manajemen. Dia itu tinggal serumah dengan Ana sej. . .”
“Tidak perlu di bahas, tidak akan keluar di ujian semester” aku memotong penjelasan Dila, hal yang menurutku sangat membuang-buang energi adalah membahas hubunganku dengan Sandy.
Well some may say I need to be afraid
Of losing everything, because of where I
Had my start and where I made my name
Well everything’s the same in the La La Land
Lirik lagu Demi Lovato yang berjudul La La Land itu mengalun dari ponsel gadis berkerudung yang hingga kini aku tidak mengetahui namanya. Ia menjawab panggilan itu. “Assalamualaikum, iya benar ini Ayu, ini siapa ? oh, ada apa Fin ?. Oh, terima kasih atas info nya. Wassalamualaikum” ia menutup telepon genggamnya.
“Kenapa Yu ?” Ama bertanya kepada gadis yang memiliki nama Ayu itu. Mereka terlihat begitu akrab, seperti aku dan Dila.
“Kata temanku mata kuliah selanjutnya tidak ada, dosennya sedang ada urusan di luar kota” ia menjelaskan dengan suaranya yang begitu lembut. Gadis ini sepertinya memiliki jiwa ke-ibu-an yang sudah mendarah daging di dalam dirinya.
Dila berpamitan pulang terlebih dahulu kepada kami bertiga. Ayu juga bergegas pulang dengan alasan tidak ada yang menjaga adik kecilnya di rumah. Kini aku hanya tinggal berdua dengan Ama. Sepertinya aku juga ingin pulang, karena dari awal aku memang merasa kurang nyaman dengannya, bahkan sejak pertama kali kami bertemu di mall. Saat aku ingin meninggalkannya, ia menahanku.
“Tunggu, ada yang ingin kubicarakan denganmu”
Aku kembali duduk di tempat dudukku semula, “Ada apa?” tanyaku
            “Aku mengetahui sesuatu tentangmu dan Sandy” 
            “Kalau kamu ingin membahas tentang aku dan Sandy, aku sama sekali tidak tertarik” ucapku ketus seraya berdiri dari tempat dudukku.
            “Kenapa kamu bersikap seperti ini setiap membicarakan Sandy ?. Apa karena cintamu pernah ditolak mentah-mentah olehnya ?” Langkahku terhenti mendengar ucapannya. Pernyataan itu begitu mengagetkanku sampai lutut ini terasa lemas.
            “Bukan Urusanmu” Aku menepis pernyataan itu, kemudian berjalan meninggalkannya. Kejadian itu, kejadian lima tahun lalu saat aku masih duduk di kelas dua sekolah menengah pertama.  Aku sudah menghapusnya dari memori otakku, berusaha untuk tidak meninggalkan bekas sedikit pun. Tapi kenapa gadis itu dengan santainya membuka pintu yang bahkan telah tiada. Darimana ia mengetahui hal ini ?.
            “Aku pulang” ucapku saat memasuki rumah. Ayah, ibu, dan adik perempuanku sedang menonton televisi di ruang keluarga, peristiwa ini adalah rutinitas keluarga kami. Kebersamaan adalah ciri khas keluargaku. Aku langsung duduk di sebelah ibuku, ikut menyaksikan serial lawak favorit ayah dan Pina. Ibu mengusap rambutku yang sedikit lepek. Padahal hari ini cuaca tidak begitu panas, kurasa ini akibat dari hatiku yang mulai terbakar emosi.
            “Ibu,” ucapku sedikit berbisik, berharap ayah dan adikku yang masih duduk di kelas empat sekolah dasar itu tidak mendengarnya. Ibu menatap wajahku yang terlihat sangat letih.
            “Bisakah Sandy tidak tinggal dirumah kita ?”
            “Kenapa ? terjadi masalah di antara kalian?” Ibu mencari-cari jawaban dari kedua bola mataku. Aku menggeleng, aku tahu cara ini tidak mungkin berhasil. Keluargaku sangat menyayangi Sandy, bahkan ibuku sudah menganggapnya seperti anak sendiri. Sandy adalah anak dari teman dekat ibu saat ia masih kuliah di salah satu universitas negeri di Yogyakarta. Saat aku memasuki sekolah menegah pertama, keluarga Sandy menjadi tetangga kami. Ketika itu ibuku dan ibunya berjanji untuk menyekolahkan kami di tempat yang sama, agar kami saling menjaga dan menjadi teman baik.
            “Aku pulang” ucap Sandy saat memasuki rumah, aku langsung beranjak dari sisi ibu menuju kamarku. Kubaringkan tubuhku di kasur, memejamkan mataku sesaat. Aku membuka kedua mataku bersamaan dengan suara pintu kamarku yang terbuka. Sandy telah berdiri di ambang pintu, aku berdiri menghampirinya.
            “Walaupun kita tinggal di satu atap, bisakah kamu berhenti mengusik hidupku  ?”. Ia terkejut mendengar ucapanku itu. Aku menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diriku. “Kamu tahu, aku selalu berharap kamu menghilang dari pandanganku”. Aku menutup pintu kamar, meninggalkan Sandy yang berdiri terpaku di depan kamarku. Air mata jatuh ke pipiku, mungkin hanya dua atau tiga tetes, tapi ini adalah air mata pertamaku untuk Sandy. Aku adalah tipe orang yang sangat sulit untuk terharu, apalagi sampai meneteskan air mata. Kali ini aku sungguh merasa bersalah, walaupun aku selalu berkata ketus, tapi baru kali ini kulontarkan ucapan sekejam itu.
            “KAKAK” Pina berteriak dari lantai dasar “Ada telepon dari mbak Dila”. Aku menuruni anak tangga dengan malas, kemudian mengambil gagang telepon dari tangan Pina. Ia memperhatikan wajahku yang terlihat sembab, namun ia tidak bertanya tentang hal itu. Ia hanya diam dan meninggalkanku sendiri di ruang tamu. Kurasa adik kecilku itu sangat memahami sifatku.Kulirik nomor yang tertera di telopon, itu bukan nomor telepon rumah Dila.
“Ada apa Dila ?”
“Anaaaaa,, “ suara Dila terdengar serak, kemudian ia menangis
“Dila kamu kenapa ?” Aku mulai panik
“Ana, rumahku, rumahku . . .” ia kembali menangis
“Rumah kamu kenapa ?” aku semakin khawatir. Gagang telepon terjatuh dari tanganku saat Dila melanjutkan perkataannya.  Lututku gemetaran sehingga aku hampir terjatuh, untung saja seseorang menahan tubuhku. Setelah seluruh tenagaku pulih, aku langsung berdiri. Melihat seorang lelaki yang menolongku tadi, aku mengabaikannya. Aku langsung berjalan menuju garasi, menyalakan mobil kesayangan ibu, kemudian melesat menuju ke kediam Dila.
Rumah yang berbentuk RUKO (rumah toko) itu kini sudah habis tebakar api, yang tersisa hanya tembok yang sudah berwarna hitam. Aku kesulitan menemukan sahabatku ataupun keluarganya karena disini masih dipenuhi banyak orang. Aku melihat Dila yang masih mengenakan pakaian tidur duduk di depan rumah tetangganya, wajahnya kelihatan ketakutan. Aku berlari ke arahnya.
“Dila,,” sepertinya ia belum menyadari keberadaanku di dekatnya. Begitu melihatku, ia langsung berdiri dan memelukku.
“Dila” aku hanya menyebut namanya, aku tidak sanggup menenangkannya. Kejadian seperti ini begitu mendadak, otakku tidak mampu mencerna dengan cepat.
“Aku sangat takut Na. . .” Ia menangis di pelukanku. Aku tahu rumah ini adalah satu-satunya rumah Dila dan rumah ini juga sumber penghasilan orangtuanya. Dila dan keluarganya hanya tinggal dilantai tiga, sedangkan lantai satu dan dua digunakan sebagai toko pakaian. Daerah ini memang sangat strategis untuk dijadikan pusat pertokoan, selain letaknya dipinggir jalan, juga ini merupakan jalan lintas.
Aku tiba dirumah sekitar pukul tiga dini hari, Dila sudah merasa sedikit tenang saat kutinggalkan. Ia dan keluarganya menginap di kediaman salah satu tetangganya yang rumahnya tidak terlahap si jago merah. Untunglah pagi ini aku tidak terlambat masuk kuliah. Aku duduk dipojok kanan ruangan kelas, meletakkan tasku dibangku sebelahku untuk tempat duduk Dila nanti. Ia sudah memberitahuku kalau ia masuk kuliah hari ini.
“Pagi” seseorang menyapaku sambil menyunggingkan senyuman diwajahnya. Aku melirik ke arahnya, sama sekali tidak berniat membalas sapaan itu. Ia tersenyum lagi, tapi kali ini senyumannya seperti merendahkanku, mungkin ini senyuman terlicik yang pernah kulihat.
“Tatapanmu seperti ingin menerkamku saja” ujarnya sambil tertawa. Aku tersenyum, juga merendahkannya, hanya saja senyumannya lebih menakutkan daripada milikku.
“Kamu” aku tersenyum seperti meledeknya “Siapa kamu sebenarnya ? Mata-mata dari MBA ? atau saudara seperguruan dengan detektif conan ?” aku tertawa kecil, kemudian menyambung ledekanku “sepertinya kamu selalu mengamati gerak-gerik orang lain”.
“Aku?” ia menyondongkan tubuhnya ke arahku “Aku hanya gadis biasa yang suka menikmati semangkuk ice cream bersamamu”. Ucapannya seakan membuat jantungku berhenti berdetak, aku menarik napas panjang dan merasa kesulitan untuk mengeluarkannya. Mataku menatapnya tanpa berkedip sedikitpun. Ia berlalu meninggalkanku yang sedang syok. Lalu seseorang duduk disampingku, mengamatiku yang masih dalam keadaan terkejut.
“Sepertinya kamu sedang bicara serius dengan Ama, apa yang kalian bicarakan ?”. Aku berusaha menangkan diriku, kemudian tersenyum padanya. “Tidak ada, hanya obrolan kecil di pagi hari”.
Aku mengikuti perkuliahan dengan perasaan gusar. Memutar otakku untuk mengingat kejadian yang sudah lalu. Mencari-cari sosok Ama dalam ingatanku, mungkinkah aku pernah bertemu dengannya sebelumnya ?, atau mungkin kami pernah duduk di kelas yang sama ?. Aku terus bertanya-tanya dalam hati, tapi sepertinya tidak ada ingatan tentang dirinya, sama sekali tidak ada. Lalu siapa dia sebenarnya ?.
Tanpa terasa perkuliahan telah selesai, aku merapika buku-bukuku dan bersiap untuk pulang. Namun Dila masih saja duduk seperti bermalas-malasan keluar dari kelas. Ia membaca kembali catatannya, membuka modul kuliah dan mencatat sesuatu. Aku kembali duduk dan memutuskan untuk duduk diam disampingnya. Sepertinya kelas sudah hampir kosong, kami sudah terlalu lama disini, aku mulai bosan.
“Dila, kamu ingin dikelas lebih lama ?” aku bertanya kepadanya yang masih sibuk menggoreskan tinta di atas kertas.
“Aku sudah hampir selesai” ujarnya “Ana” ia terdiam sesaat, terlihat ragu kemudian melanjutkan kalimatnya “Kamu melupakan sesuatu ?”
“Sesuatu ?” aku memutar bola mataku, berfikir “Menurutmu aku sedang meluapakan hal penting ?” tanyaku penasaran
“Tidak, tidak ada” ujarnya lagi.
Telepon genggamku bergetar, ada pesan singkat dari Dino, temanku disekolah menengah atas. “Ana, apakah kalian sudah berangkat ke acara reuni ? Aku bermaksud untuk pergi bersama. Aku telah menghubungi Dila, tapi dia tidak menjawab teleponku”.
Aku menepuk jidatku. “Dila, mari kita pergi” aku menarik lengan Dila, namun ia menahanku. “Kita harus ke acara reuni sekolah, kamu lupa?” aku menarik tangannya keluar kelas. Kami tiba di kafe dengan menggunakan jasa taksi, aku paling tidak suka menumpang mobil orang lain, maka dari itu aku tidak membalas pesan Dino. Aku tahu ia mengajakku karena Dila pasti sedang bersamaku, pria yang melanjutkan studinya di salah satu universitas negeri di Jakarta itu telah menyukai Dila sejak masa orientasi sekolah. Sayangnya cintanya bertepuk sebelah tangan.
Dila berhenti didepan pintu kafe. “Ada apa ?” tanyaku.
“Aku ingin ke toilet, kamu duluan saja” ucapnya. Ia berjalan menuju toilet yang berada di sebelah kanan dari pintu utama kafe. Ia bertingkah sedikit aneh hari ini, kuamati Dila yang sedang berjalan membelakangiku. Ia mengikat rambut ikalnya, mengenakan kemeja berwarna hijau yang sepertinya terlalu besar untuk ukuran tubuhnya, rok hitam yang menggantung selutut, dan sepatu pansus berwarna hijau tua yang menurutku hampir ketinggalan zaman. Aku menepuk jidatku,“Kebakaran itu” desisku menyesali ingatanku yang cukup buruk.
Aku memasuki kafe yang merupakan tempat tongkrongan anak-anak di sekolahku terdahulu. Terlihat sekitar belasan muda-mudi sedang duduk di sudut kiri ruangan. Aku menghampiri kerumunan itu, menyapa mereka, lalu menarik kursi tepat didepan Dino. Beberapa saat setelah aku duduk, Sandy muncul lalu duduk di sisi kanan Dino.
“Kalian pergi bersama ?” seorang gadis berkulit putih bersih yang duduk  tepat di sisi kiri Dino melirik ke arahku lalu Sandy secara bergantian.
“Tidak, hanya kebetulan tiba disini bersamaan” aku menyanggah pertanyaan dari gadis yang biasa dipanggil Tifani itu.
“Aku dengar kalian tinggal bersama sejak masuk pergurun tinggi” ucap Amel yang duduk disisi paling ujung “Kalian berencana menikah ?” ia tertawa mengejekku.
“Apa ?” Tifani sedikit berteriak lalu tertawa bersamaan dengan Amel. Bisa dibilang bahwa mereka berdua dan aku tidak pernah akur selama tiga tahun kami bersekolah. Dan menurutku, wajar kalau mereka mengolokku disaat acara reunin. Mungkin untuk mengenang masa sekolah yang indah.
“Aku tidak percaya, kapan kalian mulai pacaran ?” seseorang bertanya, aku tidak tahu dia siapa karena aku hanya menundukkan kepalaku. “Sepertinya aku akan diserang oleh semua anak yang hadir saat ini” pikirku.
“ Mungkinkah kalian sudah berpacaran sejak SMA?”
“Atau sejak SMP ?”
“Sepertinya kalian dijodohkan”
“Aku rasa hari ini kalian harus mentraktir kami”
“Iya benar, untuk merayakan hubungan kalian”
            Setiap anak mengutarakan apapun yang ingin mereka sampaikan, suasana menjadi sangat ricuh, dan ini cukup membuat telingaku panas. Aku melihat ekspresi Sandy yang terlihat ‘biasa-biasa saja”, seakan-akan ia bukanlah objek ledekan teman-teman saat ini. Pembicaraan mengenai aku dan Sandy kini makin heboh, ada berkata bahwa kami mungkin sudah menikah diam-diam di luar negeri, kami tinggal hanya berdua dirumah, dan bahkan ada yang bertanya apakah kami telah berciuman. Aku tidak tahan lagi, situasi ini membuatku muak. Tidak ada bala bantuan yang akan menolongku, Dila mungkin masih di toilet untuk memikirkan antara hadir ke acara ini atau pulang saja.
            “Kami memang tinggal bersama” akhirnya aku mengucapkan perkataan itu, semuanya terdiam, lalu melihat ke arahku “Tapi ini tidak seperti apa yang kalian bayangkan, kami tidak memiliki hubungan apapun, Sandy tinggal bersamaku dan keluargaku karena keluarganya telah kembali ke Belanda.” Aku menuntaskan kalimatku. Perkataanku ini tidak akan menghapus semua pandangan mereka tentang kami, tapi setidaknya suasana kembali normal. Walaupun Amel dan beberapa anak lain masih berbisik-bisik. Tanpa kusadari kini Dila telah berdiri disampingku, mengatakan “Hai” kepada teman-teman yang lain, lalu duduk tepat disebelahku.
            “Dila ? kenapa dandanan kamu . . .” Tifani yang kurasa memiliki hobby mengkritik orang lain menatap Dila seakan tidak percaya, lalu ia melanjutkan kalimatnya “. .terlihat sedikit kucel”.        “Sepertinya selera kamu sudah berubah” seseorang menambahkan
“Kamu seperti bukan Dila yang dulu”. Dila hanya tersenyum menanggapi ledekan-ledekan itu, tapi aku dapat melihat ada segurat kesedihan di wajahnya. Mungkin situasi ini akan sulit baginya, mengingat ia yang dulunya selalu me-nomor-satu-kan penampilan.
            “Bukankah tampil sederhana itu bagus” Ema terlihat seperti malaikat pembela kebenaran “,lebih alami dan lebih terlihat manis”. Gadis itu memang selalu netral dalam mengahadapi situasi seperti ini, bahkan disaat perdebatan mengenai aku dan Sandy berlangsung ia hanya menggeleng-gelengkan kepala dan berkata “Mereka yang tinggal serumah, kenapa kalian yang repot ?”
            “Aku setuju” Dino mengacungkan jempol kearah Dila “kamu terlihat semakin cantik”
            “Terima kasih” Senyuman Dila melebar, sepertinya guratan kesedihan semakin menghilang dari wajahnya. 
“Dan aku berdoa agar semua kesedihannmu lenyap, yang tersisa hanyalah senyuman manis yang akan menghiasi hari-harimu” bisikku ditelinganya .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar