Minggu, 07 Agustus 2011

Tatapan Luka

Aku terhenyak. Tatapan  elang itu seakan menghujam jantung. Membuat bibir ini kelu. Menyulap seluruh tubuh menjadi sedingin salju. Tatapan silam yang pernah mengoyak ulu hatinya. Mencabik-cabik asanya. Kini, tanpa setitik dosa. Tatapan itu hadir dipelupuk mataku. Memaksa untuk mengungkap mimpi yang tak ingin dijamah lagi.

Rabu, 8 November 2008.
Hari ini aku bertatap muka denganmu. Seseorang yang selalu mencari jawaban dari setiap sudut hatiku. Kau tak berkata apa-apa. Kau membiarkanku mengungkapkan segalanya sendiri.
Walaupun aku tak pernah mengizinkanmu menyentuh hatiku. Kau selalu menantiku dengan penuh kesabaran. Aku tau kau terluka. Oleh sebab itu, aku ingin bercerita padamu ditempat ini. Tempat yang bagiku menyimpan kenangan berharga. Mulanya kau heran kenapa kita bertemu ditempat seperti ini. Tapi kau tak menanyakannya padaku. Kau lebih memilih diam dan menyerahkan seluruh keputusan padaku. Sifat itu yang membuatku selalu diruntuhi rasa bersalah.
Kukatakan padamu, disaat ceritanya usai aku tak ingin ada keluhan. Karena hari ini aku bercerita untuk menjelaskan semuanya. Bukan untuk membuatmu menyesali keadaan. Bukan untuk meneteskan setitik air mata.
Aku bersyukur karena Tuhan mempertemukanku padamu. Karena dengan begini, kau akan tau semuanya. Tentang kau, aku dan seseorang disana. Baiklah, dengarkan baik-baik. Karena aku tak ingin mengulang kenangan pahit ini lagi. Aku akan bercerita tentang seseorang yang sangat berarti dalam hidupku.

Tataplah kedua bola mata yang penuh oleh goresan luka ini. Maka kau akan menemukan bongkahan api yang tak pernah padam.

***

Seorang gadis dilahirkan dari keluarga yang selalu dicemoohkan orang lain. Tapi ia tak pernah menyesal, karena ia dibesarkan oleh wanita berhati malaikat. Walaupun dimata semua orang ibunya adalah seorang wanita hina. Tapi ia selalu bersyukur karena ibunya melimpahkan kasih sayang yang tak pernah mampu diungkapkan dengan kata-kata. Yang tak dapat diukur oleh apapun. Dan hanya dapat dirasa oleh hati.
Saat gadis itu menjelang remaja. Ia tumbuh sebagai gadis yang sempurna dari setiap goresan wajahnya, setiap lekuk tubuhnya dan setiap helai rambutnya. Menurut kaum adam, wajahnya yang polos dengan uraian rambut sepinggang membuatnya kelihatan anggun. Tak sedikit teman seusianya memuja keindahannya.
Namun semua itu hanya membuat ia dan ibunya semakin dibenci oleh setiap orang. Terutama warga yang tinggal berdekatan dengan rumah mereka. Cacian, makian bahkan kekerasan telah dilakukan oleh tetangga mereka semata untuk mengusir gadis cantik dan ibunya dari kediamannya. Tapi mereka berusaha tetap bertahan dalam kepedihan. Karena mereka tak tau lagi kemana mereka harus pergi
          Tangisan tak lagi mampu menghapus segala luka. Keluhan hanya menambah beban dihati. Satu-satunya jalan terbaik adalah dengan doa. Ibunya terus berdoa agar nasib putrinya tak seburuk nasibnya. Agar bidadari kecilnya mendapatkan yang terbaik untuknya. Untaian kata berupa doa itupun mengalir disetiap hembusan nafasnya.

***

          Kini dara jelita itu telah menginjak usia dewasa. Ia sudah mulai mencari uang. Setelah kursus selama satu tahun. Ia bekerja disebuah salon yang tak jauh dari rumahnya. Dengan begini ia bisa membebaskan ibunya dari pekerjaan itu. Pekerjaan yang selalu mendatangkan bala bagi mereka.
Pada petang hari, usai bekerja disalon. Gadis itu bertemu dengan seseorang dipersimpangan jalan. Ia terhenyak menyambut tatapan mata lelaki itu. Tatapan yang seperti menerkam tapi dapat menggelitik hatinya.
Pertemuan singkat dipersimpangan itu terus membawanya kealam mimpi. Kemudian disambut dengan harapan. Hingga akhirnya ia tak bisa tidur karena memikirkan hal itu. Hanya melalui untaian doa ia bisa menyampaikan kerinduannya. Menyampaikan betapa inginnya ia bertemu dengan lelaki itu. Seseorang yang tak ia kenal tapi berharap memilikinya.
Ia yakin Sang Khaliq pasti mendengar jeritan hatinya. Seperti Dia mengabulkan doanya sehingga ibunya berhenti dari pekerjaannya. Saat ini jalanan ramai, awalnya ia tak perduli dengan apa yang terjadi. Tapi begitu melihat sosok yang ia mimpikan tergeletak berlumuran darah. Jantungnya seakan berhenti berdetak. Lututnya gemetaran. Namun ia tetap berjuang untuk menyelamatkannya.
Hingga akhirnya lelaki bertatapan elang itu tergeletak diranjang rumahnya. Ia telah tersadar dari tidur singkatnya. Sehingga mereka bisa banyak bercerita. Ternyata lelaki itu baru pindah kedaerah ini. Rumahnya didekat persimpangan dimana mereka pertama kali bertemu.
Sejak kejadian itu, dua insan itu terpaut dalam kisah yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Tapi bisa dijamah oleh kalbu.

***
         
          Ternyata kebahagiaan itu tak mudah untuk diraih. Tak segampang membalikkan telapak tangan. Walaupun ia dan pria bertatapan elang itu saling mencintai. Tapi orang tuanya menentang hubungan mereka. Dengan satu alasan yang cukup jelas. Gadis itu berasal dari keluarga yang tak terhormat. Tidak mempunyai asal usul yang jelas tentang siapa ayahnya. Alasan yang cukup masuk akal bagi sebagian orang. Tapi bagaikan sengatan  volt listrik dijiwa sang gadis.
          Dengan segala keyakinan. Sepasang kekasih itu pergi kekota meninggalkan semua yang terjadi dirumah mereka. Mereka menikah disana dan hidup bahagia. Itulah harapan mereka. Tapi seperti pengalaman-pengalaman yang lalu. Kebahagiaan itu tak akan mudah untuk digapai.
          Disaat mereka telah memiliki seorang anak perempuan yang lucu. Kehidupan mereka kembali diuji. Lelaki bertatapan elang itu kehilangan pekerjaannya. Mereka menjadi keluarga yang membutuhkan uluran tangan dari orang lain.
          Sebuah uluran tangan hadir. Uluran tangan yang berujung dengan tangisan dan sumpah serapah. Uluran tangan dari seorang wanita karir yang kaya raya dengan status jandanya dan memiliki seorang anak laki-laki. Uluran tangan yang merebut lelaki bertatapan elang itu darinya. Meninggalkan istri dan bayi kecilnya hanya untuk harta dan kesenangan. Meninggalkan mereka dengan kepedihan yang tak seorang pun dapat membayarnya. Luka yang tak pernah ada obatnya. Dendam yang tak pernah ada akhirnya.

***.

Lepaskanlah tatapanmu dari bola kristalku. Karena kini kau telah melihat bongkahan api itu tertuju padamu.

Kau masih mencari jawaban atas semuanya. Tapi aku tak ingin mengangkat suara. Aku ingin kau yang menyimpulkan sendiri. Kau yang melakukannya sendiri. Sebagaimana kau membiarkanku membuka semuanya sendiri.
Namun kau masih dipenuhi tanda tanya. Ku ambil sebuah foto dari tasku. Digambar itu ada sebuah keluarga bahagia yang hanya tinggal kenangan. Ada ayah, ibu dan bayi mungilnya yang kini telah menjadi wanita tangguh.
Kau berusaha memastikan pandanganmu akan gambar tersebut. Hingga kau tak mampu lagi berkata-kata. Hanya keringat yang bercucuran dari keningmu. Kerutan wajah yang membuatmu kelihatan bodoh.
“ Apa gadis yang kau ceritakan itu i…..”
Kuletakkan jari telunjukku dibibirnya. Aku menyuruhmu untuk tidak melanjutkan kata-kata. Karena aku tak mau mendengar apa-apa darimu. Mengetahui siapa kau dan ibumu telah menjawab semua pertanyaanmu.
          Aku berdiri dari kursi yang sudah usang ini. Tersenyum padamu yang menunjukkan raut kecewa. Kemudian meninggalkanmu sendirian disebuah kantin kecil yang sudah hampir roboh. Kantin kecil tempat ibuku dulu mencari nafkah. Kantin kecil yang mampu menyimpaan jutaan kenangan. Kantin kecil sebagai tempat bersejarah disaat ayahku direbut oleh orang lain. Direbut oleh wanita berhati batu yang ternyata ibu dari orang yang menaruh hati padaku.

Ketika tatapan sayu yang penuh uraian air mata telah berubah menjadi dendam. Maka tatapan elang  yang mengerikan pun tak sanggup mecabik-cabik kenyataan.

JANJI 23 FEBRUARI oleh Rahmad Hidayat

Tak hentinya kukedipkan mata ini, menoleh kekiri-kekanan, mencoba mencari sesosok tubuh yang aku incar. Aku masih menuggunya disini, berdiri seperti patung yang dipajang ditoko-toko pakaian, atau mungkin seperti batang kayu itu, yang sering kalian sebut paru-paru dunia. Kemana seonggok tubuh itu, apakah ia lupa janji 23 februarinya itu? Atau aku yang bodoh, menunggunya memenuhi janji yang mungkin sudah dilupakannya. “aku harus menunggu” gumamku.
Aku tetap saja mematung, kali ini entah berapa ketukan yang harus kubiarkan berlalu, hingga akan ada peluit sopran yang bisa menuntunku menghentikan bisu ini. Masih dingin, udara disini masih dingin, membuat pori-poriku melebar, tapi aku masih saja menunggunya, menunggu gadis yang mereka sebut isna. Gadis yang berjanji 23 february yang lalu.
Aku menoleh kesebuah benda bulat yang terpajang di dinding, benda yang memilki 12 angka kuno yang mampu meramalkan waktu. Tepat jam 7.45, ia belum juga datang. Aku tak bisa lagi menunggunya, aku harus pergi, meninggalkan kerumunan manusia yang mempunyai segala jenis dilema. Masih basah, tanganku masih basah disentuh oleh embun yang menyapaku ketika aku memutuskan menunggunya disini,ditempat ini, persis ditepi tiang putih tua yang enggan menyapaku.
Kulangkahkan kaki yang tak ingin meninggalkan tempat ini, tapi aku  harus kesana, kegaleriku, mereka sudah menungguku. Aku mengelurkan benda kecil yang bisa menirimkan pesan singkat, ku type semua pesan ku padanya, lalu dengan sombong benda kecil ini memberikan isyarat terkirim. Aku sudah jauh meninggalkan pusat gravitasi mereka, sekarang aku berdiri didimensi lain yang sudah menungguku, galeriku.
Aku meletakkan tubuhku disudut ruangan, pada sebuah kursi merah yang damai. Hpku bergetar, ia memberiku pesan baru, pesan dari gadis yang berjanji itu. Dengan lahap, mataku menyoroti pesan singkat yang dikirimnya, aku terdiam sejenak, “sudah terlambat” gumamku.
Aku disini mengikuti semua acara manja ini, semuanya terlihat bahagia, sepertiku, lelaki yang ditutupi silindris dimata kirinya. Tapi aku masih cemas, sesak, semua terasa berat berlalu. Tangan ini, yang tadinya basah kini perlahan memerah-hitam diterpa sinar surya. Acara perlahan berlalu sambil memakan lahap waktuku, aku membiarkannya.
Ia disana, bersama kegembiraanya, mungkin ia sudah melupakan janjinya itu. Biarlah, karna kali ini malaikat tidak ikut campur. Tapi ini sudah menjadi keharusanya, apakah ia sudah melupakannya? Melupakan janji yang diucapkannya pada sore hari di bulan february.
Aku sejenak memikirkan peristiwa haru itu, 23 februari yang lalu, ketika matahari ingin melepaskan tugasnya, ketika ship bulan berdencing, ketika kupu-kupu menari balet disekitarku, ketika hujan merintik-rintik di atas atap rumah itu, dan rumah itu tersenyum kegirangan, ketika pancaran jingga melebar, ketika adzan magrib kan berkumandang, ketika rona wajah bumi berubah tua, ketika pelukis langit menggunakan aliran ekspresionisme untuk memberi background bumi, ketika jalanan berbatu ini kosong dari sipembuat polusi, ketika benda bulat itu menunjukkan pukul 5 sore, ketika, ketika, ketika….
Aku masih ingat semuanya, aku masih ingat segalanya, aku masih ingat, banyak yang menyaksikannya, jalan berbatu ini, matahari tua itu, kupu-kupu genit, tetes-tetes basah itu, bumi senja, jam dinding itu, semua menyaksikannya.  “sudahlah” gumamku, ia sudah melupakanku, melupakan aku dan janjinya. Ia sudah punya dimensi lain, sedangkan aku masih tetap saja menunggunya, berharap ia akan memnuhi janjinya. “sial, bodoh” gumam hati kecilku.
Aku mencoba menenangkan diriku, ku tatap sebuah sepatu kecil yang akan kuberikan padanya, karena kupikir ia akan memenuhi janjinya. Kupikir sepatu kecil ini akan sangat berharga baginya sebagai balasan sesuatu yang dijanjikannya itu. Tapi, ini terkesan seperti aku yang mengharapkan pemberiannya.
Sihir apa yang dipakainya sehingga aku mengiayakan perkataanya ketika 23 februari membumi, atau mungkin karena aku, lelaki yang menyukai warna hijau dan merah, lelaki yang tidak menyukai jika hitam dan putih dicampurkan menjadi satu. Ya, aku memang terlalu percay kepada orang lain, termasuk dia, gadis kelahiran kampong mana yang sangat menyukai korea.
Aku menoleh jamku, 12.35,  tetap pada saat matahari diatas kepalamu, membayangimu, menyuguhkan panasnya untukmu. Aku sekarang tidak memikirkan acara ini lagi, aku harus kesana kedimensinya, karena ia tidak akan kesini, kedimensiku. Aku bergegas sekarang aku sudah jauh meninggalakan tempat yang penuh dengan kebahagiaan itu. Aku mengejarnya, aku harus mengejarnya, menangih janjinya, agar ia bisa selamat pada saat sakaratu mautnya.
Aku sampai, persis disisi kiri gang tua ini, disamping toko yang penuh dengan pelanggan ini, aku menunggunya disebelah sini. Aku benar, ia sudah melupakan ku. Ia tidak datang menemuiku, atau aku yang harus datang kesana. Baiklah, tanpa piker panjang kulangkahkan kakiku menyebrangi jalan, aku sedikit berlari. Aku sampai disebrang jalan, hanya tinggal sedikit langkah lagi untuk masuk kegedung ini, gedung yang penuh dengan pelajar.
Entah apa yang mebuatku menoleh kebelakang, aku memutar tubuhku dan melihat gadis itu disebrang sana, kami sudah terpisah. Aku terhenti sejenak mungkin ini belum saatnya. Aku menyoroti langkahnya ia dan teman-temannya kebangunan itu, bangunan yang penuh dengan orang-orang suci, bangunan yang sering kalian sebut masjid. Ya, mungkin tuhan akan mengabsenya disana. Aku juga harus kesana, ketempat itu, karena aku juga ingin mengeluhkan kisahku kepada-nya.
Aku melaksanakan kewajiban yang menjadi rutinitasku. Kalian tahu, aku juga seperti mereka mengalirkan air kebagian-bagian tertentu tubuhku, berwudhu.  Setelah itu aku juga melakukan apa yang mereka perbuat, gerakan-gerakan khusu’ yang dianjurkan dalam bidang kesehatan, sholat. Dan kalian harus melihatnya, aku melakukan apa yang mereka lakukakan, menengadahkan tangan sambil berkomat-kamit minta ini-itu, sembari memasang tampang lusuh d          an merendah kepadanya, berdoa.
Selesai sudah, hatiku sekarang tenang. Aku kemudian menunggunya digerbang masjid itu, karena itulah satu-satunya jalan keluar. Tapi, sudah lebih setengah jam ia tidak juga menampakkan batang hidungnya. “ada apa dengannya?” Gumanku. Aku bertanya kepada gadis yang bertubuh kecil itu, ia mengatakan bahwa gadis yang kucari itu sudah tidak berada disitu, ia sudah pergi, mungkin ia sudah kembali kegedung itu.
Aku kemudian berlari kearah gedung itu, waktuku tinggal sedikit lagi karena aku harus kesana, kembali keacaraku. Aku menyoroti semua human yang ada disini, tapi aku tidak menemukannya. Aku memutuskan untuk beristirahat sejenak ke sebuah ruangan yang menjadi hang outku setiap hari, ruang uks. Aku beristirahat sejenak, menenangkan diriku dari semuanya.
Setelah beberapa menit meninggalkan aku dan lingkaran ini, kau memutuskan untuk kembali kesana, keacaraku, perlahan kutinggalkan tempat ini, tempat yang dijanjikannya 23 februari yang lalu. Aku terperanjat, gadis itu, gadis itu tepat didepanku. Tapi, ia tidak sedikit pun merasa aku ada dihadapannya. Aku melewatinya, aku benar, ia telah melupakan aku dan janji 23 februarinya itu. Aku berhenti kubuka ranselku kemudian aku mengambil sepatu kecil yang ingin ku berikan padanya.
Aku memanggilnya, dari sini. Ia dengan enggan datang, mungkin ia malu menemuiku, menemui lelaki bertas hijau ini. Sekarang ia persis didepanku, aku memberikannya sepatu kecil itu, ia menerimanya. Tapi, tapi, mana janjinya. Seharusnya ia yang lebih dulu menepati janjinya bukan aku, aku tidak berjanji apa-apa padanya, ia yang berjanji, mana janji 23 februarinya itu.
“sudahlah” gumamku
Aku berjalan meninggalkannya, sudah kuduga, ya, sudah kuduga ending kisah ini. Ia tidak memenuhi janjinya, janji 23 februarinya itu. Perlahan kulangkahkan kakiku meninggalkan pusat gravitasinya, aku sudah jauh, ia tidak akan bisa mengejarku lagi, aku sudah jauh, sangat jauh darinya, dari gadis yang berjanji 23 februari yang lalu.