Jumat, 17 Februari 2012

Semangkuk Ice Cream

Ketika aku besar nanti,
Aku ingin menjadi seperti ibuku
Menjadi seorang arsitek yang hebat
Kemudian  akan kubangunkan rumah yang bagus untukmu Ana.
“Anaaaaaaaa, bangun sayang” teriak seorang wanita separuh baya dari ruang favoritnya yang terletak di lantai dasar. Aku sudah terbangun dari tidur singkatku, bahkan sebelum ibuku memanggilku. Hanya saja aku enggan menjawab teriakkannya. “Aku bukan anak kecil lagi bu, umurku sudah hampir delapan belas tahun” ingin sekali kulontarkan perkataan yang ada dibenakku saat ini, tapi lidah ini begitu kelu untuk meluapkannya. Karena ibuku adalah satu-satunya manusia yang tak ingin  kusakiti hatinya, enggan menggores luka dibenakknya , bahkan sampai matipun tak akan merobek perasaanya. Sungguh, aku mencintainya disetiap hembusan napasku.
“Sayaaaaaang, hari ini hari pertama kamu kuliah, jangan sampai terlambat” teriaknya lagi. “iya bu” sahutku singkat sambil berjalan menuruni anak tangga. Aku masih terlalu lelah, terlihat dari mataku yang sayu, hanya saja aku tak ingin melewatkan hari ini. Sebenarnya, aku baru tiba di bandara Soetta semalam,sekitar pukul 11.40,dan sampai di kediamanku mungkin pukul 01.00 dini hari. Kalau dipikir-pikir, saat ini emang terlalu melelahkan untuk menjadi mahasiswa baru. Namun, hari ini tak boleh terlewatkan. “Tidak boleh” gumamku.
Kulangkahkan kakiku menuju ruang makan, disana terdapat sebuah meja makan berbentuk persegi panjang. Ayahku sedang membaca surat kabar sambil menikmati kopi jahenya. Ibuku menyuapi adik perempuanku yang duduk disebelahnya. Kutarik kursi yang berhadapan dengan gadis kecil yang kerap disapa Pina. Ayahku menoleh kearahku.
“Bagaimana liburanmu dirumah eyang ?” .
“Begitulah” sahutku sambil meneguk susu coklat buatan ibuku.
“Kabar eyang gimana ? sehat ?” suara besar ayah tergantikan oleh lembutnya pertanyaan ibu. Aku suka mendengar suara ibu, terasa begitu hangat ditelingaku.
“Eyang sehat bu, beliau titip salam buat ayah dan ibu”
“Aku ?” Adikku yang masih duduk di bangku sekolah dasar menatap kearahku.
“Kurasa ia melupakanmu” jawabku singkat, kemudian melahap nasi goreng yang terhidang dimeja makan, ini adalah menu favorit keluarga. Nasi goreng sea food ala ibu.
“KAKAK” teriak Pina kesal padaku. Aku tak menghiraukannya, hanya menikmati sarapan pagiku. Beginilah aku dan adikku setiap paginya, gaduhan di ruang makan menambah kelezatan masakan ibu.
“Pagi semua” suara itu diiringi dengan deritan kursi makan disebelahku. Ayah, Ibu beserta Pina membalas sapaan lelaki yang kini duduk tepat disampingku. Ia melirik kearahku, dan aku sama sekali tak menghiraukan keberadaannya. Ia menyantap makanan yang sama dengan kami, meneguk susu coklat buatan ibuku, bahkan memanggil ibuku dengan sebutan yang seharusnya hanya aku dan Pina yang memanggilnya. Dan perlu diketahui, lelaki yang memiliki usia yang sama denganku ini bukan abangku, bukan juga sepupuku, bahkan tidak memiliki hubungan darah denganku. Kami hanya tinggal disatu atap, itu saja, tidak lebih dan tidak kurang.
Setelah menghabiskan tegukan terakhir dari susu coklat kesukaanku, kusalim tangan ayah, ibu, kemudian mengacak rambut pendek adikku. Ia terlihat kesal dengan tindakanku itu. “Aku pergi” ucapku pada semua yang berada di ruangan favorit ibuku itu. Wanita kelahiran 1965 itu begitu menyukai ruang makan, karena ditempat inilah keluarga kecil kami selalu berkumpul. Jawaban yang singkat, namun memiliki makna yang begitu dalam.
“Na, kenapa tidak pergi bersama Sandy ?” Tanya ibuku. Aku hanya melambaikan tangan, kemudian membuka pintu rumah kami. Kutarik napasku perlahan untuk menghirup udara pagi yang sebenarnya tidak terlalu segar. Memasang ancang-ancang untuk berlari kekampus. Aku berlari bukan karena aku hampir terlambat, karena saat ini waktu masih menunjukkan pukul 07.00 pagi, sementara perkuliahan dimulai pukul 08.00. Bukan juga karena jarak antara rumahku dan kampus yang terlampau jauh, karena bila di tempuh dengan berjalan kaki hanya menghabiskan waktu sekitar sepuluh menit.  Lalu kenapa ?. aku hanya tersenyum memikirkan alasan yang ada dibenakku ini.
Kuperlambat langkah kakiku, kini aku telah berdiri didepan salah satu universitas swasta ternama yang berada di Kota Depok. Dengan membaca basmalah kulangkahkan kaki kanan menuju area kampus. Sebuah papan penunjuk jalan bertuliskan “Teknik Arsitektur” digantungkan dilangit-langit asbes. Menurut petunjuk tersebut seharusnya aku berjalan lurus menuju kelasku. Namun, saat ini tujuanku bukan ketempat tersebut. Aku berbelok kearah kiri, berjalan sekitar sepuluh langkah dari papan petunjuk arah tadi. Senyuman kecil tersungging dari bibirku yang berwarna merah muda. Majalah dinding (MADING) kampus, tempat inilah yang membuatku mengerahkan tenaga untuk berlari. Disitu tertera sekitar dua ribuan nama mahasiswa baru dari setiap jurusan. Jari telunjukku mengarah dari nomor pertama hingga nomor 48 di kertas pertama, “Namanya tidak ada” ucapku seperti hembusan napas. Kemudian kulanjutkan pencarianku kelembar dua, tiga, hingga kini jari telunjukku mengarah ke nomor 2853, nomor terakhir dari lembar teakhir. Kakiku gemetaran, aku berpegangan pada tembok agar tidak terjatuh. “Tidak mungkin, seharusnya namanya tertera disini” gumamku seraya menggeleng-gelengkan kepalaku.
“Anaaaaaaaaaaaaaa” gadis berambut ikal dengan penampilan menarik berteriak kearahku. Ia berlari kecil untuk menghampiriku. Aku bahkan belum mengumpulkan seluruh nyawaku saat wanita yang biasa dipanggil Dila itu menyentuh lenganku. Melihat kondisiku yang terlihat buruk, perempuan bermata sipit ini menyentuh keningku. Aku tersenyum kearahnya, sebisa mungkin terlihat ‘baik-baik saja’. Aku berdiri tegak “ayo kekelas” ajakku masih dengan suara rendah. Ia mengangguk dan menggandengku berjalan menuju kelas. Ruangan yang terlihat seperti panggung bioskop ini sudah penuh sesak dengan makhluk hidup. Aku dan Dila mengambil posisi duduk di pojok kanan paling belakang. Bukan karena kami menginginkan duduk di tempat seperti ini, hanya saja ini lah satu-satunya tempat yang tersisa untuk kuota dua orang.
“Kamu curang” ucapnya kesal, aku menoleh kearahnya “Kenapa kamu pergi ke Jogja seminggu sebelum kita kuliah ? Kan seharusnya kamu bisa pergi dihari-hari sebelumnya” kemudian nada suaranya menurun “itu membuatku tidak punya teman sewaktu OSPEK” pipi cuby nya terlihat cemberut.
“Aku punya janji dengan seorang teman lama” aku berusaha mengumpulkan sisa-sisa suaraku yang mungkin akan terdengar parau. “Tepatnya kemarin, seharusnya kami bertemu di tempat itu, tapi dia tidak datang”
Dila mengelus-elus pundakku, memberikan suguhan semangat untuk sahabat yang telah dikenalnya sejak mengenyam bangku sekolah menengah atas.
“Tapi aku yakin kami akan bertemu” ucapku meninggikan suaraku hingga beberapa dari mahasiswa yang ada disekitar menoleh ke arah kami.
“Dimana ?” Tanya gadis bertubuh semampai itu penasaran.
“Disini, di kampus ini, mungkin saat ini ia berada disekitar kita” jawabku, tingkat kepercayaan diriku semakin meningkat. Seakan apa yang terlontar dari mulut mungilku tadi adalah kenyataan.
“Kamu yakin ? kamu tau dari mana ?” Dila semakin penasaran
Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, seorang dosen yang kira-kira berusia enam puluh tahun memasuki kelas. Ubannya sudah merajalela disetiap helai rambutnya. “Kok ada sih dosen setua itu” salah seorang mahasiswi didepanku berkomentar. Tak ada yang menanggapinya dan aku pun enggan ambil pusing untuk memikirkan dosen tersebut. Ingatanku kembali kemasa silam, tepatnya dua belas tahun yang lalu.
Jogja, 12 Juli 2000
            Udara segar menggelitik sekujur tubuhnya dipagi yang cerah ini. Gadis kecil yang tepat berusia lima tahun sebelas bulan itu sedang duduk dipekarangan rumah eyangnya. Sepertinya sedang menunggu seorang teman. Ditangannya ada sebuah botol kosong, pena, dan dua lembar kertas. Kemarin ia menerima pelajaran dari guru sekolah dasarnya untuk menuliskan cita-citanya diselembar kertas. Saat ini mungkin hanya cita-cita seorang gadis kecil, namun suatu saat nanti akan menjadi kenyataan yang luar biasa.
            Seorang anak lelaki yang memiliki belahan didagunya berlari kearah gadis itu. “Anaaaa” teriaknya seraya melambaikan tangan. Gadis bernama Ana itu pun berdiri dengan tas Tazmania yang menggantung di punggungnya, juga melambaikan tangan pada sahabat kecilnya.
            “Kamu mau kemana ? kenapa bawa tas ?” Tanya lelaki yang lebih tua setahun dari gadis berlesung pipi, namun mereka masuk sekolah ditahun yang sama.
            “Kata ibu hari ini kami mau pindah”
            “Kemana ?” lelaki kecil itu mengerutkan dahinya. Ana menggelengkan kepala, pertanda bahwa ia sama sekali tidak tau. Mereka terdiam sesaat, kemudian mereka saling berbagi kertas dan pena. Itu lah tujuan mereka bertemu hari ini, untuk membubuhi kertas putih dengan harapan mereka. Mereka menuliskan cita-cita manis dikertas masing-masing. Tanpa suara, dan berpikir keras untuk mengetahui apa yang sebenarnya mereka inginkan.
            “Apa yang kamu tulis ?” Tanya Ana penasaran
            “Nanti baru aku kasih tau” jawabnya sambil memasukkan dua lembar kertas itu kebotol, kemudian menutupnya dengan sehelai sapu tangan.
            “Kapan ?” Gadis berambut sebahu itu penasaran.
            “Dua belas tahun lagi”
            “Kenapa harus dua belas tahun lagi ?itu terlalu lama”
            “Karena hari ini tanggal dua belas, dan ini ulang tahunku ” jawabnya dengan senyuman lebar, memamerkan sederetan giginya yang putih. Kemudian mereka mengubur botol tersebut di bawah pohon mangga. Mereka tersenyum menunjukkan wajah polos yang belum tersentuh dosa sedikitpun.
            Hari sudah mulai siang, tibalah saatnya gadis yang memiliki sejuta harapan itu meninggalkan kampung kelahirannya. Bersama kedua orang yang paling dicintainya, ia menaiki mobil. Melihat kebelakang melalui jendela yang terbuka, melambaikan tangan pada teman kecilnya. Mereka berbagi senyuman, karena yakin suatu saat nanti akan dipertemukan kembali. “Jiner” gadis kecil itu menyebut nama sahabatnya dengan senyum ketulusan.
            Perkuliahan yang hanya berlangsung dua jam ini pun berakhir. Dan aku sama sekali tak mendengarkan pelajaran hari ini. “Hebat sekali Ana, hari pertama kuliah malah melamun” dumelku dalam hati. Aku beranjak dari tempat dudukku, kepalaku sedikit pusing, mungkin akibat darah rendah. Aku berjalan beriringan dengan Dila keluar dari ruangan. Mataku menangkap wajah sesosok pria yang sepertinya sangat akrab denganku. Aku membelalakkan mataku untuk memastikan, laki-laki bertubuh jangkung itu memiliki sedikit belahan di dagunya. Jantungku berdetak tidak karuan. Wajah itu, persis seperti apa yang ada dalam hayalanku.
“Jiner” gumamku dalam hati.
Kulangkahkan kakiku menuju kearahnya. Aku bersembunyi di balik sebuah pohon, pria itu hanya sekitar lima langkah dari tempatku berpijak. Kuamati dirinya yang sedang mengobrol dengan teman wanitanya. Mulai dari gaya rambutnya yang berjambul, alisnya yang tebal, bola matanya yang berwarna coklat, hidungnya yang mancung, sampai bibirnya yang kelihatan penuh. “Hanya belahan dagunya yang mirip” gumamku sedikit kecewa. Namun aku belum menyerah, “Mungkin saja wajahnya telah mengalami sedikit perubahan. Setahuku, banyak orang yang memiliki wajah yang berbeda dengan wajahnya sewaktu kecil”  kusemangati diriku sendiri. Kembali kuperhatikan si target sasaran, ia hanya berbicara seadanya, sepertinya perempuan yang ada dihadapannya lebih mendominasi percakapan. Aku tersenyum, tidak jelas apa penyebabnya. Mungkin karena pria itu mirip Jiner, atau karena gayanya yang terlihat cool. Entahlah, aku tidak mengerti.
“Alfin” terdengar teriakan seorang lelaki kearahku. Kutolehkan kepalaku kebelakang, lelaki yang berteriak tadi berdiri tidak jauh dari tempatku berpijak. “Tidak mungkin ia berteriak padaku, namaku bukan Alfin” pikirku singkat. Saat aku kembali mengarahkan pandanganku ke target sasaran, pria yang mirip teman kecilku itu berjalan kearahku, kemudian melewatiku, dan menghampiri lelaki yang berteriak tadi. Mereka berjalan beriringan meninggalkanku yang terpaku. Seketika itu juga tubuhku terasa lemas, “Bodoh” Aku menokok kepalaku sendiri, “Mungkin ada ribuan lelaki yang memiliki belahan didagunya, bagaimana mungkin aku berpikir kalau pria itu adalah Jiner” ucapku pada diriku sendiri. Lama aku berdiri terpaku di tempat ini, sedikit tertawa menyadari kebodohanku. Untunglah hanya aku dan pikiranku yang menyadari hal memalukan ini.
Bip bip. . . getaran itu berasal dari tas sandangku. Ku acak-acak isi tasku untuk menemukan sebuah ponsel. Ada pesan dari Dila. “Untuk apa Dila mengirimiku pesan?” tanyaku penasaran.
“Kamu dimana ?. Dosennya sudah masuk kelas.” kutepuk jidatku setelah membaca pesan tersebut. Melihat kesana kemari untuk memastikan arah. Aku bingung, aku sama sekali tidak tahu harus pergi ke arah mana. Kelasku berikutnya ada didekat auditorium, hanya itu yang ku ketahui. Yang jadi masalah adalah aku bahkan tidak tahu dimana letak auditorium itu. Aku menghela napas dan menenangkan diri. Ponselku kembali bergetar. Pesan dari Dila lagi. “Kamu dimana ?. Kamu sudah telat 15 menit, kalau kamu datang sekarang kamu akan di usir. Ana, daripada kamu dipermalukan, menurutku lebih baik kamu tidak masuk kelas.”
“Saran yang bagus dari seorang teman” kutarik sedikit senyuman diwajahku. Kulangkahkan kaki ini menuju deretan bangku di taman. Duduk seraya meregangkan otot otot yang kaku. Hari ini terlalu melelahkan, begitu banyak kejadian aneh. “Bisa-bisanya aku bolos kuliah hanya untuk memperhatikan gerak gerik seorang pria. Ah, cerita hari ini patut di jadikan sejarah” aku tertawa sangat pelan, memastikan tidak ada orang yang menganggapku gila karena tertawa sendirian.
“Kamu sedang apa disini ?” Suara yang sangat akrab ditelinga ini mengagetkanku. Kini ia sudah duduk disebelahku tanpa meminta izin. Begitulah yang ia lakukan setiap harinya. Bahkan mulutku hampir berbuih karena mengomelinya tentang hal ini.
“Kamu mengikutiku ?” aku menggeser posisi duduk beberapa jengkal darinya. Ia menggelengkan kepala, “Kamu bolos ya ?. setahuku kamu ada kuliah sampai sore ini.” tuduhannya membuatku sedikit terkejut. Namun, aku tak menghiraukan tuduhannya, hanya diam seperti apa yang biasa kulakukan terhadapnya.
 “Bagaimana kalau ibu mengetahuinya ?” nada suaranya meledekku,kemudian ia tertawa. Baginya mungkin hal ini adalah hal yang paling menarik dalam hidupnya. Membuatku marah adalah salah satu dari hobinya, itulah yang selalu ia katakan padaku. Mataku melirik kearahnya dengan tajam, kemudian aku berdiri meninggalkannya. Tanpa suara, begitulah aku menghadapi tingkah konyolnya setiap hari.
“Hei mau kemana ?. Anaaaaaa. . .” teriak lelaki yang biasa disapa Sandy itu. Aku hanya berjalan sejauh mungkin darinya. Sebenarnya aku tidak membencinya, hanya saja aku tidak suka kalau ia selalu berada disekitarku. Pria keturunan Belanda-Sunda itu sudah sekelas denganku sejak menginjak bangku sekolah menengah pertama, kami bahkan mengambil pelajaran tambahan di tempat yang sama. Aku tahu hal ini adalah unsur ketidaksengajaan, hanya saja terkadang ini kelihatan tidak logis. Hampir semua teman sekolahku mengira bahwa kebersamaan kami bukan sebuah kebetulan, melainkan hal yang sudah kami rencanakan. Ah, terlalu melelahkan bagiku untuk mengoreksi pendapat mereka, biarkan saja menglir seperti itu.
Kusandarkan tubuhku di salah satu kursi di perpustakaan, membolak-balik buku yang sama sekali tidak kumengerti. Mataku mulai redup, mengingat singkatnya tidurku tadi malam ditambah dinginnya ac di ruangan ini, mengantuk adalah hal yang wajar. Jam dinding menunjukkan pukul 12.00 siang, aku tidak bisa pulang sekarang karena perkuliahanku selesai sejam lagi. “Lebih baik tidur sebentar” pikirku sambil merebahkan kepalaku di meja.
Bip bip,, getaran itu mengusik tidurku, perlahan kubuka kedua mataku, berusaha mengangkat kepalaku yang terasa sangat berat, kemudian merapikan rambutku yang terurai sebahu. Ada pesan dari ibu, “Na, pulang kuliah tolong mampir ke mall, belikan baju bayi beserta sepatu dan sarung tangannya. Bayinya perempuan kira kira enam bulanan.  Ibu sudah menyuruh Sandy untuk menemanimu”.
“Sandy ? Aku bahkan tidak tahu dia ada dimana saat ini” ucapku kesal.
“Sepetinya kamu membutuhkan bantuanku” . kutolehkan kepalaku ke arah suara itu, Sandy sedang duduk manis kira-kira dua kursi disebelahku. Ia tersenyum melihat wajah bodohku. Bagaimana mungkin aku tidak menyadari keberadaannya disitu. Seharusnya aku tidak perlu ambil pusing untuk mencarinya, karena pria itu selalu ada dimana-mana.
“ Antarkan aku ke mall” ucapku datar sambil berjalan keluar dari ruangan yang dipenuhi pohon mati ini. Ya, bagiku perpustakaan adalah kumpulan dari pohon yang sudah mati. Aku dan Sandy masuk ke bagian perlengkapan bayi. Kami saling bertukar pandangan, tidak seorang pun diantara kami yang mengerti tentang hal ini. Pelanggan di tempat ini kebanyakan suami istri beserta bayi mereka, “benar-benar gambaran keluarga bahagia” pikirku. Seorang pegawai berseragam hitam putih menghampiri kami.
“Ada yang bisa saya bantu mbak ?” pegawai itu terlihat masih muda, mungkin usianya tidak jauh dariku.
“Saya ingin mencari pakaian bayi, kira-kira usianya enam bulan, dibagian mana saya bisa menemukannya ?”. Wanita berkulit hitam manis itu tidak menjawab pertanyaanku, sepertinya ia sedang mengamati wajah Sandy. Aku tersenyum merendahkan wanita itu, “Dasar maniak” pikirku sembarangan.
“Mbak” teguranku membuatnya tersentak, mukanya terlihat memerah.
“Mari mbak saya tunjukkan” kami mengikutinya dari belakang. Dengan penuh semangat ia menunjukkan berbagai jenis pakaian bayi, mulai dari yang berwarna cerah, gelap, bermotif bunga, bergambar boneka, hingga bergambar kucing. Kutunjukkan sebuah pakaian berwarna merah muda kepada Sandy mengacak-acak sepatu bayi.
“Bagaimana kalau yang ini?” tanyaku padanya. Ia mengangkat jempol tangannya pertanda menyetujui pilihanku. Sekilas kulihat wajah pegawai tadi, ia masih memperhatikan setiap garis diwajah Sandy. Sandy masih tidak menyadari tatapan gadis itu, dengan santai ia memilah-milih sepasang sepatu bayi. Ia menarik sepasang sepatu baldu berwarna merah muda dengan gambar boneka di ujungnya.
“Yang ini baguskan?” Sandy menunjukkan sepatu itu padaku
Aku mengangguk  “Yang ini gimana ?” aku menunjukkan sepasang sarung tangan berwarna putih susu.
“Apa itu ? sarung tinju ?” tanyanya dengan wajah polos. Aku menatap wajahnya seakan-akan ingin menerkamnya. Ia tertawa lepas, raut mukanya terlihat sangat bahagia. Aku berjalan menuju kasir dan Sandy mengikutiku seperti anak ayam.
“Sepertinya mereka pengantin baru” bisik salah satu pegawai yang berdiri tidak jauh dari tempat kami mengantri. Mungkin ia tidak menyadari bahwa telingaku dapat menangkap perkataan itu.
“Iya iya, kelihatannya masih muda ya” sambung salah satu pegawai yang berdiri didekatnya.
Aku melirik ke arah kedua pegawai itu, mereka langsung menghentikan pembicaraannya dan bubar teratur. Kata ibu mataku memang tajam, seperti tatapan elang. Bahkan ada yang mengatakan tatapanku seperti akan menerkam mangsa. Padahal dikeluargaku tidak ada yang memiliki mata sepertiku. Namun, ibu selalu meyakinkanku bahwa mataku sebenarnya mirip dengan mata ayah, hanya saja mataku sedikit lebih tajam.
            Setelah menyelesaikan urusan administrasi dengan kasir. Aku dan Sandy pulang kerumah. Kuserahkan semua belanjaanku kepada ibu, kemudian aku bergegas menuju kamarku. Kurebahkan tubuhku diatas kasur yang merupakan tempat favoritku.kutarik napasku dalam-dalam kemudian menghembuskannya melalui mulut. Semua kejadian hari ini menari-nari di kepalaku, begitu banyak kejadian sampai membuat kepalaku pusing. Tiba-tiba aku teringat pria itu, pria yang dipanggil dengan sebutan Alfin. Walaupun ini mustahil, aku berharap pria itu adalah teman kecilku. Kuambil sebuah bingkai foto di atas meja belajar, foto itu terlihat sudah usang. Aku masih ingat dengan jelas, gambar ini di ambil oleh ibuku saat aku dan jiner pertama kali menginjakkan kaki di bangku sekolah dasar. Ini adalah seragam sekolah pertama kami, aku bahkan masih menyimpan seragam itu di lemariku. Kenangan bersamanya terasa begitu manis, seperti sedang menikmati semangkuk ice cream. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar