Minggu, 07 Agustus 2011

JANJI 23 FEBRUARI oleh Rahmad Hidayat

Tak hentinya kukedipkan mata ini, menoleh kekiri-kekanan, mencoba mencari sesosok tubuh yang aku incar. Aku masih menuggunya disini, berdiri seperti patung yang dipajang ditoko-toko pakaian, atau mungkin seperti batang kayu itu, yang sering kalian sebut paru-paru dunia. Kemana seonggok tubuh itu, apakah ia lupa janji 23 februarinya itu? Atau aku yang bodoh, menunggunya memenuhi janji yang mungkin sudah dilupakannya. “aku harus menunggu” gumamku.
Aku tetap saja mematung, kali ini entah berapa ketukan yang harus kubiarkan berlalu, hingga akan ada peluit sopran yang bisa menuntunku menghentikan bisu ini. Masih dingin, udara disini masih dingin, membuat pori-poriku melebar, tapi aku masih saja menunggunya, menunggu gadis yang mereka sebut isna. Gadis yang berjanji 23 february yang lalu.
Aku menoleh kesebuah benda bulat yang terpajang di dinding, benda yang memilki 12 angka kuno yang mampu meramalkan waktu. Tepat jam 7.45, ia belum juga datang. Aku tak bisa lagi menunggunya, aku harus pergi, meninggalkan kerumunan manusia yang mempunyai segala jenis dilema. Masih basah, tanganku masih basah disentuh oleh embun yang menyapaku ketika aku memutuskan menunggunya disini,ditempat ini, persis ditepi tiang putih tua yang enggan menyapaku.
Kulangkahkan kaki yang tak ingin meninggalkan tempat ini, tapi aku  harus kesana, kegaleriku, mereka sudah menungguku. Aku mengelurkan benda kecil yang bisa menirimkan pesan singkat, ku type semua pesan ku padanya, lalu dengan sombong benda kecil ini memberikan isyarat terkirim. Aku sudah jauh meninggalkan pusat gravitasi mereka, sekarang aku berdiri didimensi lain yang sudah menungguku, galeriku.
Aku meletakkan tubuhku disudut ruangan, pada sebuah kursi merah yang damai. Hpku bergetar, ia memberiku pesan baru, pesan dari gadis yang berjanji itu. Dengan lahap, mataku menyoroti pesan singkat yang dikirimnya, aku terdiam sejenak, “sudah terlambat” gumamku.
Aku disini mengikuti semua acara manja ini, semuanya terlihat bahagia, sepertiku, lelaki yang ditutupi silindris dimata kirinya. Tapi aku masih cemas, sesak, semua terasa berat berlalu. Tangan ini, yang tadinya basah kini perlahan memerah-hitam diterpa sinar surya. Acara perlahan berlalu sambil memakan lahap waktuku, aku membiarkannya.
Ia disana, bersama kegembiraanya, mungkin ia sudah melupakan janjinya itu. Biarlah, karna kali ini malaikat tidak ikut campur. Tapi ini sudah menjadi keharusanya, apakah ia sudah melupakannya? Melupakan janji yang diucapkannya pada sore hari di bulan february.
Aku sejenak memikirkan peristiwa haru itu, 23 februari yang lalu, ketika matahari ingin melepaskan tugasnya, ketika ship bulan berdencing, ketika kupu-kupu menari balet disekitarku, ketika hujan merintik-rintik di atas atap rumah itu, dan rumah itu tersenyum kegirangan, ketika pancaran jingga melebar, ketika adzan magrib kan berkumandang, ketika rona wajah bumi berubah tua, ketika pelukis langit menggunakan aliran ekspresionisme untuk memberi background bumi, ketika jalanan berbatu ini kosong dari sipembuat polusi, ketika benda bulat itu menunjukkan pukul 5 sore, ketika, ketika, ketika….
Aku masih ingat semuanya, aku masih ingat segalanya, aku masih ingat, banyak yang menyaksikannya, jalan berbatu ini, matahari tua itu, kupu-kupu genit, tetes-tetes basah itu, bumi senja, jam dinding itu, semua menyaksikannya.  “sudahlah” gumamku, ia sudah melupakanku, melupakan aku dan janjinya. Ia sudah punya dimensi lain, sedangkan aku masih tetap saja menunggunya, berharap ia akan memnuhi janjinya. “sial, bodoh” gumam hati kecilku.
Aku mencoba menenangkan diriku, ku tatap sebuah sepatu kecil yang akan kuberikan padanya, karena kupikir ia akan memenuhi janjinya. Kupikir sepatu kecil ini akan sangat berharga baginya sebagai balasan sesuatu yang dijanjikannya itu. Tapi, ini terkesan seperti aku yang mengharapkan pemberiannya.
Sihir apa yang dipakainya sehingga aku mengiayakan perkataanya ketika 23 februari membumi, atau mungkin karena aku, lelaki yang menyukai warna hijau dan merah, lelaki yang tidak menyukai jika hitam dan putih dicampurkan menjadi satu. Ya, aku memang terlalu percay kepada orang lain, termasuk dia, gadis kelahiran kampong mana yang sangat menyukai korea.
Aku menoleh jamku, 12.35,  tetap pada saat matahari diatas kepalamu, membayangimu, menyuguhkan panasnya untukmu. Aku sekarang tidak memikirkan acara ini lagi, aku harus kesana kedimensinya, karena ia tidak akan kesini, kedimensiku. Aku bergegas sekarang aku sudah jauh meninggalakan tempat yang penuh dengan kebahagiaan itu. Aku mengejarnya, aku harus mengejarnya, menangih janjinya, agar ia bisa selamat pada saat sakaratu mautnya.
Aku sampai, persis disisi kiri gang tua ini, disamping toko yang penuh dengan pelanggan ini, aku menunggunya disebelah sini. Aku benar, ia sudah melupakan ku. Ia tidak datang menemuiku, atau aku yang harus datang kesana. Baiklah, tanpa piker panjang kulangkahkan kakiku menyebrangi jalan, aku sedikit berlari. Aku sampai disebrang jalan, hanya tinggal sedikit langkah lagi untuk masuk kegedung ini, gedung yang penuh dengan pelajar.
Entah apa yang mebuatku menoleh kebelakang, aku memutar tubuhku dan melihat gadis itu disebrang sana, kami sudah terpisah. Aku terhenti sejenak mungkin ini belum saatnya. Aku menyoroti langkahnya ia dan teman-temannya kebangunan itu, bangunan yang penuh dengan orang-orang suci, bangunan yang sering kalian sebut masjid. Ya, mungkin tuhan akan mengabsenya disana. Aku juga harus kesana, ketempat itu, karena aku juga ingin mengeluhkan kisahku kepada-nya.
Aku melaksanakan kewajiban yang menjadi rutinitasku. Kalian tahu, aku juga seperti mereka mengalirkan air kebagian-bagian tertentu tubuhku, berwudhu.  Setelah itu aku juga melakukan apa yang mereka perbuat, gerakan-gerakan khusu’ yang dianjurkan dalam bidang kesehatan, sholat. Dan kalian harus melihatnya, aku melakukan apa yang mereka lakukakan, menengadahkan tangan sambil berkomat-kamit minta ini-itu, sembari memasang tampang lusuh d          an merendah kepadanya, berdoa.
Selesai sudah, hatiku sekarang tenang. Aku kemudian menunggunya digerbang masjid itu, karena itulah satu-satunya jalan keluar. Tapi, sudah lebih setengah jam ia tidak juga menampakkan batang hidungnya. “ada apa dengannya?” Gumanku. Aku bertanya kepada gadis yang bertubuh kecil itu, ia mengatakan bahwa gadis yang kucari itu sudah tidak berada disitu, ia sudah pergi, mungkin ia sudah kembali kegedung itu.
Aku kemudian berlari kearah gedung itu, waktuku tinggal sedikit lagi karena aku harus kesana, kembali keacaraku. Aku menyoroti semua human yang ada disini, tapi aku tidak menemukannya. Aku memutuskan untuk beristirahat sejenak ke sebuah ruangan yang menjadi hang outku setiap hari, ruang uks. Aku beristirahat sejenak, menenangkan diriku dari semuanya.
Setelah beberapa menit meninggalkan aku dan lingkaran ini, kau memutuskan untuk kembali kesana, keacaraku, perlahan kutinggalkan tempat ini, tempat yang dijanjikannya 23 februari yang lalu. Aku terperanjat, gadis itu, gadis itu tepat didepanku. Tapi, ia tidak sedikit pun merasa aku ada dihadapannya. Aku melewatinya, aku benar, ia telah melupakan aku dan janji 23 februarinya itu. Aku berhenti kubuka ranselku kemudian aku mengambil sepatu kecil yang ingin ku berikan padanya.
Aku memanggilnya, dari sini. Ia dengan enggan datang, mungkin ia malu menemuiku, menemui lelaki bertas hijau ini. Sekarang ia persis didepanku, aku memberikannya sepatu kecil itu, ia menerimanya. Tapi, tapi, mana janjinya. Seharusnya ia yang lebih dulu menepati janjinya bukan aku, aku tidak berjanji apa-apa padanya, ia yang berjanji, mana janji 23 februarinya itu.
“sudahlah” gumamku
Aku berjalan meninggalkannya, sudah kuduga, ya, sudah kuduga ending kisah ini. Ia tidak memenuhi janjinya, janji 23 februarinya itu. Perlahan kulangkahkan kakiku meninggalkan pusat gravitasinya, aku sudah jauh, ia tidak akan bisa mengejarku lagi, aku sudah jauh, sangat jauh darinya, dari gadis yang berjanji 23 februari yang lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar